Sejarah Pemberian Tanda Baca Pada Al-Quran (Dhabtil Quran)

Dahulu Al-Quran tanpa titik dan baris

Tahukah kamu jika sebenarnya penulisan atau model tulisan Al-Quran pada masa dahulu tidak seperti apa yang kita lihat pada masa sekarang. Al-Quran sudah melewati berbagai masa dan waktu yang panjang hingga seperti yang ada pada masa kini. Sebelumnya Al-Quran jauh sangat berbeda. Bayangkan saja dimasa silam Al-Quran tidak memiliki baris seperti arab gundul. Tidak hanya itu saja, ketika itu titik pada huruf juga belum ada, sehingga sulit membedakan mana ba, ta, tsa, kha, ja, da, dza, za, sya, fa, qaf  dan sebagainya.

Perlu kamu ketahui bahwa bangsa Arab dahulunya terkenal dengan tradisi menghafalnya. Mereka terkenal dengan kemapuan menghafal yang sangat kuat, sehingga proses menulis adalah suatu hal yang langka, itupula yang menyebabkan kertas dimasa itu bukan hal yang sering dijumpai sehai-hari.

Salah satu sahabat yang pandai menulis adalah Zaid bin Tsabit yang digelari sang sekretaris Rasul SAW. Sedangkan dikalangan wanita dikenal Asy-Syifa' binti Abdullah sebagai sahabiyah yang pandai menulis sehingga dijuluki gurunya wanita.

Pada masa itu karena langkanya kertas, wahyu ditulis diatas benda-benda tertentu seperti pelepah, batu, kayu, tulang dan sebagainya. Artinya Al-Quran sudah tertulis dalam model tulisan yang masyhur pada masa itu, jauh dari penambahan titik dan baris. Pasalnya, walaupun tanpa baris dan titik itu tidak menjadi masalah bagi bangsa Arab untuk membacanya. Nah, penjagaan Al-Quran ketika itu ada dua, yaitu fis sudur (hafalan) dan fis sutur (tulisan).

Pengumpulan Al-Quran baik sumbernya dari hafalan dan tulisan sudah terjadi sejak masa Abu Bakar As-Shiddiq hingga berakhir pada masa Utsman. Hingga akhirnya kekuasaan Islam meluas sampai ke kawasan-kawasan non-arab termasuk daerah Azerbaijan.

Disinilah bermula masalah, disaat banyak orang non-arab yang kesulitan membaca tulisan Al-Quran pada masa itu. Maka Utsman melakukan perbaikan tulisan kembali setelah menerima laporan dari Hadzaifah bin Yaman dimana orang Syria berselisih dan saling mengkafirkan dengan orang Iraq karena perbedaan cara baca Al-Quran. Penyeragaman kemudian dilakukan atas perintan Utsman oleh sebuah panitia khusus yang terdiri dari Zaid bin Thabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Al-Asi dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Selanjutnya Sa'id bertugas sebagai pendekte dan Zaid yang menuliskan.

Dari kepanitiaan ini dibuatkan 6 mushaf yang sudah siap ditulis dan sudah mengkomodir ke semua qiraah sahihnya. Ke-6 mushaf ini disebut dengan mushaf Imam atau mushaf Utsmani dan dibagikan masing-masing ke Makkah, Madinah, Kuffah, Basrah, Syam dan satunya lagi ditinggal bersama Utsman. Ilmu yang membahas mengenai penulisan ini disebut dengan Ilmu Rasm Al-Quran.

Berjalannya waktu pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan kekuasaan umat Muslim semakin meluas. Sehingga banyak orang non-arab berbaur dengan orang Arab, akibatnya bahasa Arab menjadi rusak dan membaur dengan bahasa lain. Saat 'Ubaydillah bin Ziyad berjumpa untuk mengahadapi Mu'awiyah, ia mendapati bahwa banyak tata bahasa 'Ubaydillah yang rusak. Melihat fenomena ini Mu'awiyah kemudian mengirimkan surat kepada Ziyad dan mengecamnya karena membiarkan anaknya bertutur bahasa tidak sesuai kaidah.

Ziyad bin Abihi yang juga gubernur Basrah kemudian segera mendatangi Abu Aswad Al-Duali untuk memintanya menyusun dasar-dasar suatu  ilmu yang bisa memperbaiki kerusakan bahasa dan meng-’irab-kan kitabullah.

Abu Aswad Ad-Duali adalah muridnya Ali bin Abi Thalib yang juga peletak pertama dasar-dasar ilmu Nahwu.

Namun dengan beberapa hal tertentu Abu Aswad menolak permintaan Ziyad. Namun Ziyad tidak habis akal, untuk memperoleh niat baiknya itu ia membuat strategi untuk membujuk Abu Aswad.

Akhirnya Ziyad menyuruh seorang laki-laki duduk dijalan yang sering dilewati oleh Abu Aswad. Ia berkata pada laki-laki itu, jika nanti dia melihat Abu Aswad melewati jalannya, maka sengajalah membaca al-Quran dengan salah. Maka, pada saat Abu Aswad berjalan, laki-laki tadi langsung membaca awal surah al-Taubah ayat tiga yang berbunyi

إن الله برئ من المشركين ورسولهُ

Ia membacanya dengan bacaan yang salah. Kata ورسولُهُ (rasuluhu) dibaca  ورسولِه (rasulihi). Maka, tersentaklah Abu Aswad. Beliau pun langsung menghadap gubernur Ziyad dan menyatakan kesediaanya untuk memenuhi usulan Ziyad yaitu menyusun dasar-dasar ilmu i’rab al-Quran.

Untuk menjalankan tugasnya, Abu Aswad meminta Ziyad untuk mencari seseorang yang dapat menjadi teman sekaligus asistennya. 30 orang ulama terkenal didatangkan untuk diuji kemampuannya oleh Abu Aswad. Dan akhirnya, terpilihlah ‘Abd ibn Al-Qas. Kemudian mereka memikirkan bagaimana asas dasar ilmu ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Ilmu Dhabtil Quran.

Perbedaan anatara ilmu Rasm dan Dhabt adalah, Ilmu Rasm ruang lingkup pembahasannya mengenai hazf, ithbat, ziyadah, ibdal, qata' dan wasal. Sedangkan ranah kajian ilmu Dabtil Quran menurut Muhammad Salim Muhaisin dalam kitabnya Irsyad At-Thalibin ila Dhabtil Kitab Al-Mubin mencakup pada lima aspek pembahasan. (1) harakat, (2) bentuk sukun, (3) syiddah, (4) tanda mad, dan (5) hamzah.

Baca SelanjutnyaKaidah Pemberian Tanda Baca Titik/Baris Pertama Kali Pada Al-Quran

Intisari dari kuliah bersama Dr. H. Hisyami bin Yazid, Lc. M. Ag - 2 Oktber 2017
Sumber dari buku Ilmu Rasm Pedoman Mentashih Mushaf dan Risalah Fii Ilm Dhabtil Quran Lihaal Musykilati Hadits Ma Fii Rasm Mushaf Ustmani karya Dr. H. Hisyami bin Yazid, Lc. M. Ag

Sumber http://www.zulfanafdhilla.com/

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Pemberian Tanda Baca Pada Al-Quran (Dhabtil Quran)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel