Abu Barakat Al-Baghdadi (Filosuf & Pengkritik Ibnu Sina)
Abu’l-Barakat al-Baghdadi dikenal sebagai seorang dokter dan filsuf. Ia dikenal pula sebagai seorang saintis. Nama lengkapnya, Hibat-Allah ibn Ali ibn Malka Abu’l-Barakat al-Baghdadi. Lahir tahun (470 / 1077) –dua puluh tahun setelah Imam Al-Ghazâli lahir di Tus (450/1058-505/1111)– di Balad kurang lebih 10 km dari Kota Mosul Irak sekarang ini. Barakat hidup di abad ke-11 hingga abad ke-12. Ia dilahirkan di sebuah keluarga Yahudi. Laman Muslimheritage dan Wikipedia mengungkapkan, akhirnya Barakat memutuskan untuk memeluk Islam. Ia memiliki nama julukan, Awhad al-Zaman atau orang ternama pada zamannya.
Julukan ini diyakini terkait dengan profesi Barakat sebagai seorang dokter. Sebab, ia merupakan dokternya para khalifah Baghdad, tempat ia tinggal. Ia juga dokter langganan para sultan dari Dinasti Seljuk. Selain melakukan praktik kedokteran, ia juga mengajar tentang kedokteran.
Saat menjalani profesinya sebagai seorang dokter, Barakat memiliki saingan berat, yaitu seorang dokter Kristen bernama Ibn al-Tilmidh. Di sisi lain, ia pun memiliki teman karib bernama Ishaq bin Ibrahim bin Erza yang menulis sebuah buku berisi kata-kata sanjungan terhadapnya.
Ibn Abi-Usyabi’a in juga menulis sebuah karya yang berisi sejumlah anekdot dan ungkapan, serta daftar sejumlah karya Barakat dalam bidang kedokteran. Ini dianggap sebagai sebuah karya biografi tentang Barakat yang lengkap.
Barakat memiliki sejumlah murid kedokteran. Ia tak hanya dikenal dengan julukannya Awhad al-Zaman, tapi juga memiliki reputasi luas karena karya fenomenalnya yang berjudul Al Kitab al Mu’tabar.
Karya ini berisi esai-esai Barakat tentang filsafat. Dalam esainya itu, ia menguraikan konsep-konsep dasar tentang filsafat alam dengan analisis yang tajam. Kitab ini disusun saat ia mencapai usianya yang matang.
Kitab al-Mu’tabar berisi refleksi-refleksi filosofis Barakat yang dilakukannya dari waktu ke waktu. Terutama, mengenai logika, fisika, ilmu pengetahuan alam, dan metafisika. Ia mengutip pula Kitab al-Shifa yang ditulis cendekiawan Muslim ternama, Ibnu Sina.
Bahkan, dalam beberapa bagian bukunya, Barakat mengutip sepenuhnya kalimat Ibnu Sina. Namun, ia pun menyanggah pemikiran Ibnu Sina dan menguraikan alasan tak sependapat pemikirannya dengan Ibnu Sina tersebut.
Barakat mengenalkan ide-ide alternatif yang menarik. Dan, ide tersebut mengantarkan gaungnya pada perkembangan fisika modern. Seperti, idenya mengenai gerak dan konsep tentang waktu. Pada 1938, seorang ilmuwan, Shlomo Pines, menaruh perhatian besar pada ide inovatif Barakat itu.
Pemikiran Barakat tentang gerak, di antaranya mengenai gerakan proyektil, yang memiliki kaitan dengan perkembangan teknologi pada beberapa abad kemudian. Ini bermula dari perbincangan mengenai bubuk mesiu yang ditemukan di Cina.
Bubuk mesiu tersebut menjadi sangat populer dalam perang Eropa pada abad ke-15. Bubuk ini digunakan pihak-pihak yang bertikai dalam peperangan untuk mendorong proyektil besar, guna menghantam tembok-tembok pertahanan kota yang mereka serang.
Pada pertengahan abad ke-16, para pakar senjata di Eropa mulai mencari cara lain untuk meningkatkan daya jangkau kekuatan artileri mereka. Ada sisi lain dari perkembangan itu yang menjadi sebuah polemik dalam bidang sains.
Sebab, ternyata gerak proyektil yang didorong bubuk mesiu itu tak sesuai dengan konteks doktrin gerak yang diusung oleh Aristoteles. Dalam konteks ini, berdasarkan hukum gerak Aristoteles mestinya proyektil yang dilontarkan jatuh langsung ke tanah.
Pada kenyataannya, proyektil itu justru tak langsung jatuh ke tanah saat terlontar dari selongsong meriam. Sebaliknya, benda tersebut bergerak mengikuti sebuah lintasan melengkung. Bahkan, para pendukung Aristoteles yang paling setia pun melihat cacat doktrin itu.
Kritik terhadap konsep gerak yang diusung Aristoteles, sebenarnya bermunculan sebelum abad ke-15. Banyak cendekiawan termasuk cendekiawan Muslim melontarkan kritik terhadap doktrin gerak Aristoteles.
Misalnya, Joannes Philoponus yang lebih dikenal sebagai John the Grammarian. Kritik itu lalu dikembangkan lebih jauh oleh cendekiawan Muslim Ibnu Sina, Barakat, dan Ibnu Bajja dari Andalusia pada abad ke-12.
Dalam konteks ini, Barakat menyatakan ada tenaga dorong dari meriam untuk melontarkan proyektil. Hingga proyektil itu terdorong dan mencapai jarak tertentu. Bukan seperti yang dilontarkan oleh Aristoteles bahwa proyektil akan langsung jatuh ke bumi.
Hal itu tak akan terjadi, kata Aristoteles, jika ada penggerak yang berhubungan dengan objek yang sedang bergerak. Saat penggerak tak ada, objek itu akan langsung jatuh ke bumi. Pada kenyataannya, proyektil itu tak langsung jatuh, tapi bergerak meniti garis lengkung.
Konsep yang diajukan oleh Barakat dan Ibnu Sina mengenai gerakan proyektil ini, kemudian menjadi acuan pula bagi pengembangan konsep dorongan dan momentum. Terutama, pada pemikiran yang dikembangkan Galileo Galilei pada abad ke-17.
Pemikiran lain Barakat adalah mengenai akselerasi atau percepatan. Ia mengatakan, percepatan gerak benda jatuh disebabkan adanya gaya gravitasi yang menghasilkan kecenderungan alami benda tersebut untuk jatuh.
Konsep pemikiran Barakat digunakan untuk mengantisipasi hukum dasar mekanika klasik. Ia juga menjelaskan, percepatan yang dialami benda berat yang jatuh merupakan kecenderungan alami. Pemikiran dia ini mendorong lahirnya hukum dasar dinamika modern.
Paling tidak melalui pemikiran-pemikiran itu, Barakat telah menyumbangkan banyak ide baru mengenai fisika yang berkaitan dengan gerak. Selain mengemukakan hukum percepatan, dia juga menyatakan gerak itu relatif.
Dalam Kitab al-Mu’tabar, Barakat memberi perhatian atas kondisi yang saling memengaruhi antara kata-kata dan konsep. Misalnya, ia mengembangkan teori inovatifnya tentang waktu. Ini terlontar setelah ia menemukan sebuah kesimpulan.
Menurut Barakat, kata waktu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah konsep fundamental. Ia mengatakan, waktu merupakan sebuah entitas. Ia menegaskan pula bahwa waktu adalah ukuran sesuatu yang terjadi bukan ukuran gerak seperti kata Aristoteles.
Barakat memiliki pula kontribusi pemikiran dalam bidang psikologi. Ia membahas tentang kesadaran diri. Hal ini pernah pula diangkat oleh Ibnu Sina, terutama yang berkaitan dengan kegiatan ini. Namun, Barakat melakukan kajian lebih dalam.
Setumpuk Karya Barakat
Harus diakui, karya fenomenal Abu’l-Barakat al-Baghdadi adalah Kitab al-Mu’tabar. Karya ini berisikan beragam pemikiran Barakat dalam sejumlah bidang, terutama filsafat dan sains. Namun, ada sejumlah karya lain yang ditulis Barakat.
Di antaranya adalah karya dalam bidang kedokteran. Barakat memang dikenal pula sebagai seorang dokter. Karyanya dalam bidang kedokteran adalah risalah mengenai farmakologi yang berjudul Sifat Barsha’tha, dan berisi resep obat-obatan dari India.
Terdapat tiga salinan karya tersebut yang tersimpan di perpustakaan Turki. Selain itu, ada risalah lain tentang farmakologi yang ditulis oleh Barakat, yaitu risalah yang ia beri judul Tiryaq Amir al-Arwah.
Salinan karya tersebut tersimpan di Perpustakaan Kitapsaraydi Manisa, Turki. Ada pula risalah lain mengenai pemikiran intelektual yang berjudul Maqala fi’l-’Aql. Karya tersebut disimpan di perpustakaan di Iran dan Leipzig, Jerman.
Ada pula risalah Barakat yang diberi judul Risala fi Sabab Zuhur al-Kawa-kib Laylan wa Khafa’iha Naharan. Dalam risalahnya ini, ia menjelaskan mengapa bintang bisa terlihat di langit pada malam hari. Karya ini ditulis untuk menjawab pertanyaan Sultan Muhammad Tapar.
Manuskrip tentang karyanya itu disimpan di perpustakaan di Berlin, Jerman, dan Hiderabad, Pakistan. Juga, ada risalah mengenai kajian astronomi soal piring universal. Risalah ini berjudul Risala fi al-Amal bi al-Safiha al-Afaqiyyah.
Naskah risalah itu tersimpan di perpustakaan di Nidge, Turki. Diceritakan ia mengalami kebutaan di usia tuanya, dan ia meninggal pada tahun 560/1164-5 di Baghdad.
Belum ada Komentar untuk "Abu Barakat Al-Baghdadi (Filosuf & Pengkritik Ibnu Sina)"
Posting Komentar