Buku Panduan Zakat
Berikut ini adalah berkas Buku (E-Book) Panduan Zakat. Diantaranya Buku Panduan Zakat Praktis - Kemenag RI, Buku Panduan Ibadah Zakat, Buku Saku Menghitung Zakat Sendiri, Buku Panduan Zakat - DompetDuafa, Kitab Zakat - Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Download file format PDF.
Buku Panduan Zakat |
Buku Panduan Zakat
Berikut ini beberapa kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Panduan Zakat:
Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Kapankah waktu pembayaran zakat fitrah ?
Menurut imam al-Nawawi, ada dua faktor yang menyebabkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum Muslim; puasa Ramadhan dan Idul Fitrah. Apabila dua faktor tersebut sudah ada, maka telah wajib membayar zakat fitrah. Jika belum ada, apabila dua faktor tersebut tidak ada, maka kita tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Sehingga dengan demikian, kita tidak wajib, bahkan tidak boleh, mengeluarkan zakat fitrah sebelum puasa Ramadhan disebabkan kedua faktor tersebut belum ada.
Dalam fiqih, kelonggaran membayar zakat fitrah ini disebut dengan khamsatu auqat, atau lima waktu pembayaran zakat fitrah;
Pertama, waktu wujub, yaitu apabila menemui sebagian waktu Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Dengan demikian, orang yang meninggal setelah magrib di malam pertama bulan Syawal, maka wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah magrib di malam pertama bulan Syawal tidak wajib dizakati. Hal ini karena bayi tersebut dinilai tidak pernah mengalami bulan Ramadhan.
Kedua, waktu jawaz, yaitu dimulai sejak awal Ramadhan. Sehingga kita boleh mengeluarkan zakat fitrah di awal Ramadhan atau di pertengahannya.
Ketiga, waktu paling utama, yaitu membayar zakat fitrah sesaat sebelum shalat Idul Fitrah dilaksanakan.
Keempat, waktu makruh, yaitu membayar zakat setelah setelah shalat Idul Fitrah dilaksanakan sampai terbenamnya matahari pada hari pertama bulan Syawal.
Kelima, waktu haram, yaitu membayar zakat setelah terbenamnya matahari di hari pertama bulan Syawal.
Dalam kitab Tausyih Ala Ibni Abil Qasim, Syaikh al-Nawawi al-Jawi menjelaskan kelima waktu pembayaran zakat fitrah tersebut;
“Waktu pelaksanaan zakat fitrah terbagi lima. Pertama waktu boleh, yaitu terhitung sejak awal Ramadhan. Sebelum awal Ramadhan, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah. Kedua waktu wajib, ketika seseorang mengalami sebagian bulan Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Ketiga waktu dianjurkan, sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitrah. Keempat waktu makruh, membayar zakat fitrah setelah shalat Idul Fitrah. Kelima waktu haram, pembayaran zakat fitrah setelah hari raya Idul Fitrah, dan zakat fitrahnya terbilang qadha.”
Kriteria Orang yang Wajib Bayar Zakat Fitrah
Apa saja kriteria orang yang wajib bayar zakat fitrah?
Zakat fitrah disebut juga dengan zakatul abdan, zakat badan. Hal ini karena zakat fitrah diwajibkan dengan tujuan untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan tercela dan sia-sia yang dilakukan selama berpuasa di bulan Ramadhan. Zakat fitrah ini diwajibkan bersamaan dengan diwajibkannya puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua hijriyah.
Ulama sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap Muslim, baik dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan hadis riwayat imam al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dia berkata;
“Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering. (Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.”
Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan tentang kriteria orang yang wajib membayar zakat fitrah. Dalam kitab Alfiqhul Manhaji, kriteria orang yang wajib membayar zakat fitrah ini disebut dengan syuruthi wujubi zakatil fitrah, syarat-syarat wajib zakat fitrah. Ada tiga syarat wajib zakat fitrah sebagai berikut;
Pertama, beragama Islam. Zakat fitrah tidak wajib bagi non-muslim karena zakat fitrah adalah perbuatan ibadah kepada Allah. Dalam kitab Almughni, Ibnu Qudamah mengatakan; “Zakat fitrah tidak wajib bagi non-muslim, baik merdeka maupun budak. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya zakat fitrah untuk non-muslim merdeka dan baligh.”
Kedua, memiliki kelebihan mu’nah atau biaya hidup untuk dirinya sendiri dan keluarganya pada malam dan pagi hari raya. Yang dimaksud dengan mu’nah di sini meliputi makanan dan lauk pauknya, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain yang layak dan bersifat pokok. Apabila makanan atau hartanya hanya cukup dimakan pada malam dan pagi hari raya, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.
Ketiga, ada pada sebagian bulan Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Dengan demikian, orang yang lahir setelah terbenamnya matahari di awal bulan Syawal, maka tidak wajib membayar zakat fitrah. Begitu pula orang yang menikah setelah terbenamnya matahari di awal bulan Syawal, maka tidak wajib bagi suami membayarkan zakat fitrah istri yang baru dinikahi tersebut.
Kriteria Penerima Zakat Fitrah
Siapa Saja Penerima Zakat Fitrah?
Dalam Alquran disebutkan bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Dalam surah Attaubah ayat 60, Allah berfirman;
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang- orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Semua ini sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam kitab Fathul Qarib, Syaikh Ibnul Qosim Alghazi menjelaskan secara rinci kriteria dari masing-masing delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas;
Dari delapan golongan tersebut, maka golongan Alfuqoro dan Almasakin harus diutamakan terlebih dahulu. Hal ini karena zakat fitrah diwajibkan dengan tujuan untuk memberi makan kepada orang fakir dan miskin. Dalam hadis riwayat Abu Daur dari Ibnu Abbas, dia berkata;
“Rasulullah Saw. telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan untuk memberi makanan bagi orang-orang miskin.”
Anggota Keluarga yang Wajib Dibayarkan Zakat Fitrah
Dalam kitab Alumm, imam Syafii mengatakan bahwa ketika seseorang telah memenuhi syarat untuk membayar zakat fitrah atas dirinya sendiri, maka dia juga diwajibkan membayar zakat fitrah atas orang- orang yang wajib dia nafkahi.
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya;
“Sesungguhnya RasulullahSaw mewajibkan zakat fitrah atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari orang-orang yang mereka tanggung nafkafnya.”
Semua orang yang wajib kita nafkahi, maka wajib pula kita membayar zakat fitrah atasnya. Adapun orang-orang yang wajib kita nafkahi adalah orang tua kandung yang faqir, isteri dan anak kandung yang belum baligh dan faqir, atau sudah baligh namun faqir dan belum mampu bekerja.
Adapun anak kandung yang sudah baligh dan sudah mampu bekerja, maka dia wajib membayar zakat fitrah atas dirinya sendiri. Apabila orang tua atau orang lain ingin membayarkan zakat fitrah atas diri anak tersebut, maka harus ada pernyataan perwakilan dan izin dari anak tersebut baik dalam membayarkan zakat fitrah maupun dalam niatnya.
Sedangkan kerabat yang tidak wajib dinafkahi, maka tidak wajib pula untuk dibayarkan zakat fitrah atas dirinya. Bahkan tidak sah apabila dibayarkan zakat fitrah atas dirinya tanpa seizin darinya terlebih dahulu. Apabila ingin membayarkar zakat fitrah atas dirinya, maka harus ada pernyataan perwakilan dan izin terlebih dahulu dari kerabat tersebut.
Imam al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, menyebutkan bahwa saudara kandung dan anaknya, paman dan anaknya dan semua kerabat selain orang tua kandung dan anak kandung tidak wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrah. Yang wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrah hanya orang tua kandung dan anak kandung apabila mereka faqir dan tidak mampu bekerja.
Adapun urutan pembayaran zakat fitrah, ebagaimana disebutkan dalam kitab Alfiqhul Manhaji, harus dimulai dari sendiri, kemudian isteri, anak kandung yang masih kecil, bapak kandung, ibu kandung dan terakhir anak kandung yang telah dewasa namun belum mampu bekerja.
Pengelolaan Dana Zakat
Bagaimana Islam mengatur pengelolaan zakat?
a. Konteks Dahulu
Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, pengelolaan zakat dilakukan langsung oleh panitia khusus yang disebut amil zakat. Mereka mendapat wewenang penuh dari Rasul untuk mendata kaum muslimin yang wajib mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Karena panitia tersebut dibentuk secara khusus dan untuk pekerjaan yang khusus pula, maka data-data terkait para muzakki dan mustahik dapat terdata secara akurat, sehingga kekeliruan berupa salah sasaran dalam pendistribusiannya dapat diminimalisir.
Praktik pengelolaan zakat seperti ini dapat dipahami secara tersirat dari firman Allah Swt, Q.S. al-Taubah ayat 103 berikut :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Selain itu Rasulullah Saw juga pernah berpesan kepada Sahabat Muadz ibn Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman untuk menyebarkan agama Islam di sana. Sebelum ia berangkat, Rasul berkata
“Sesungguhnya Allah Swt telah mewajibkan zakat terhadap harta mereka, yang diambilkan dari orang-orang kaya di antara mereka dan didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Redaksi “ambillah” pada ayat di atas dan kata “diambil” yang terdapat di dalam hadis menurut sejumlah ulama mengindikasikan bahwa pemungutan dana zakat dilakukan secara persuasif oleh amil yang bertugas. Hal tersebut juga terbukti pada masa kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq yang sampai memerangi para muzakki yang enggan mengeluarkan zakat harta mereka. Keengganan tersebut dapat diketahui setelah para amil mendatangi mereka untuk mengambil zakat hartanya, namun mereka tidak mau menyerahkannya.
Imam Ibn Hajr dalam Fath al-Bari- nya menggarisbawahi bahwa alasan Abu Bakr memerangi mereka adalah karena mereka menolak dan bahkan memberontak kepada pemerintahan Abu Bakr. Sehingga karena pemberontakan itu akhirnya Abu Bakr memutuskan untuk memerangi mereka, bukan semata-mata karena keengganan mereka untuk membayar zakat.
Seandainya pemungutan zakat tidak dilakukan secara persuasif sebagaimana yang sudah dijelaskan, maka tidak mungkin Khalifah Abu Bakr mengetahui siapa di antara mereka yang mau dan siapa yang enggan mengeluarkannya.
Di samping itu, praktek seperti ini secara otomatis akan mempermudah muzakki dalam menentukan kadar zakat yang harus mereka keluarkan, karena mereka dibantu langsung oleh para amil yang bertugas untuk menghitungnya. Sehingga kekeliruan dalam menghitung dan mengeluarkan zakat dapat diatasi secara tepat dan cepat.
b. Konteks Indonesia
Adapun dalam konteks Indonesia, pengelolaan dana zakat dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah mendapatkan izin dari kementerian lewat rekomendasi Badan Zakat Nasional (Baznas). Peraturan tersebut sudah ditetapkan oleh undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan peraturan pemerintah No. 14 tahun 2014 terkait pelaksanaan undang-undang No. 23 tahun 2011. Peraturan itu juga diperkuat oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional sebagaimana telah diperbaharui terakhir dengan keputusan Presiden RI No. 27 tahun 2008.
Artinya secara syariat, pengelolaan zakat idealnya harus dikelola langsung oleh badan- badan khusus yang bersifat legal yang bertujuan untuk pengoptimalisasian pengelolaan dana zakat. Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana yang diwacanakan oleh Bapak Menteri Agama RI di atas, pada dasarnya adalah salah satu usaha untuk mempermudah manajemen penarikan zakat. Hanya saja, pemerintah perlu mengkaji prosedur penarikannya secara matang dan transparan, agar jelas siapa saja aparatur sipil negara (ASN) muslim yang wajib berzakat dan siapa yang tidak, berapa besarannya, dan lain sebagainya.
Bolehkah Zakat Fitrah Dibayar pada Pertengahan Ramadhan?
Salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Dan salah satu zakat yang wajib ditunaikan adalah zakat Fitrah. Yakni zakat yang dikeluarkan oleh umat Islam yang memiliki kelebihan bahan makanan pokok, sudah lebih buat kebutuhan makan dirinya sendiri dan juga buat keluarganya pada hari raya idul fitrah.
Zakat fitrah ini dikeluarkan setelah terbenamnya matahari di akhir dari bulan Ramadhan sampai sebelum dilaksanakan shalat idul fitrah. Karena jika dikeluarkan setelah shalat idul fitrah, maka tidak terhitung zakat lagi, tetapi menjadi shadaqah. Sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah yang menyucikan bagi orang yang berpuasa dari perkara yang tidak berguna, ucapan yang jelek dan makanan untuk orang-orang miskin. Maka siapa yang melaksanakannya sebelum shalat (idul fitrah) maka ia adalah zakat yang diterima, dan siapa yang melaksanakannya setelah shalat, maka ia adalah bagian dari shadaqah (saja).” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Lalu apakah diperbolehkan menyegerakan zakat fitrah pada pertengahan Ramadhan?
Di dalam kitab Ibanatul Ahkam syarah Bulugil Maram yang disusun oleh Hasan Sulaiman An Nuri dan Alawi Abbas al Maliki Buku Panduan Ibadah Zakat (Beirut: Darul Fikri, 2008 M. Juz 2, h. 250) telah merangkum pendapat empat mazhab dalam masalah waktu pelaksanan membayar zakat fitrah ketika memberikan syarah hadis tentang zakat fitrah.
Menurut imam Abu Hanifah dan Malik, zakat fitrah itu wajib dilaksanakan mulai dari terbitnya fajar di hari idul fitrah karena hal ini adalah waktu yang ditentukan dengannya fitrah yang hakiki, dan karena waktu yang dekat dengan seorang hamba, maka janganlah didahulukan waktu kewajibannya ini dengan sehari sebelumnya.
Sedangkan menurut imam Syafi’i dan Ahmad, zakat fitrah wajib ditunaikan sebab tenggelamnya matahari di akhir hari dari bulan Ramadhan, karena sesungguhnya adanya idul fitrah adalah sebab tenggelamnya matahari di hari akhir di bulan Ramadhan.
Adapun menyegerakan pembayaran zakat fitrah sebelum waktunya, maka menurut imam Syafi’i boleh mengeluarkan zakat fitrah mulai dari awal bulan Ramadhan, karena ada sebabnya. Sedangkan menurut imam Malik dan Ahmad boleh menyegerakan zakat fitrah sehari atau dua hari saja.
Sementara itu, menurut pengikut imam Abu Hanifah boleh menyegerakan zakat fitrah secara mutlak, tidak ada pemisah antara satu masa dengan masa yang lain menurut pendapat yang shahih, karena sebab wajibnya ditunaikannya zakat telah ada yakni orang yang wajib diberi nafkahnya.
Jadi, menyegerakan membayar zakat fitrah adalah boleh. Tetapi disunnahkannya dibayarkan sebelum melaksanakan shalat idul fitrah sebagaimana hadis Nabi Saw. tersebut di atas.
Zakat Fitrah dengan UangIslam memerintahkan untuk umatnya agar membayarkan zakat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Di antara zakat itu adalah zakat fitrah (atau zakat fitrah sebagaimana biasa dikenal masyarakat Indonesia). di antara perdebatan para ulama fikih, bolehkah membayar zakat fitrah dengan uang? Berikut beberapa pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak boleh membayar zakat fitrah dengan uang. Pendapat ini menggunakan pendapat kalangan mazhab malikiah, syafi’iyyah, dan hanbali.
Pendapat ini pertama didasarkan praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw yang membayar zakat dengan makanan. Makanan menjadi penting bagi orang-orang yang lapar pada hari raya ‘Idul Fitrah. Hal didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw. yang artinya: Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah pada manusia di bulan Ramadlan satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan.
Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Kapankah waktu pembayaran zakat fitrah ?
Menurut imam al-Nawawi, ada dua faktor yang menyebabkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum Muslim; puasa Ramadhan dan Idul Fitrah. Apabila dua faktor tersebut sudah ada, maka telah wajib membayar zakat fitrah. Jika belum ada, apabila dua faktor tersebut tidak ada, maka kita tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Sehingga dengan demikian, kita tidak wajib, bahkan tidak boleh, mengeluarkan zakat fitrah sebelum puasa Ramadhan disebabkan kedua faktor tersebut belum ada.
Dalam fiqih, kelonggaran membayar zakat fitrah ini disebut dengan khamsatu auqat, atau lima waktu pembayaran zakat fitrah;
Pertama, waktu wujub, yaitu apabila menemui sebagian waktu Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Dengan demikian, orang yang meninggal setelah magrib di malam pertama bulan Syawal, maka wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah magrib di malam pertama bulan Syawal tidak wajib dizakati. Hal ini karena bayi tersebut dinilai tidak pernah mengalami bulan Ramadhan.
Kedua, waktu jawaz, yaitu dimulai sejak awal Ramadhan. Sehingga kita boleh mengeluarkan zakat fitrah di awal Ramadhan atau di pertengahannya.
Ketiga, waktu paling utama, yaitu membayar zakat fitrah sesaat sebelum shalat Idul Fitrah dilaksanakan.
Keempat, waktu makruh, yaitu membayar zakat setelah setelah shalat Idul Fitrah dilaksanakan sampai terbenamnya matahari pada hari pertama bulan Syawal.
Kelima, waktu haram, yaitu membayar zakat setelah terbenamnya matahari di hari pertama bulan Syawal.
Dalam kitab Tausyih Ala Ibni Abil Qasim, Syaikh al-Nawawi al-Jawi menjelaskan kelima waktu pembayaran zakat fitrah tersebut;
“Waktu pelaksanaan zakat fitrah terbagi lima. Pertama waktu boleh, yaitu terhitung sejak awal Ramadhan. Sebelum awal Ramadhan, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah. Kedua waktu wajib, ketika seseorang mengalami sebagian bulan Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Ketiga waktu dianjurkan, sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitrah. Keempat waktu makruh, membayar zakat fitrah setelah shalat Idul Fitrah. Kelima waktu haram, pembayaran zakat fitrah setelah hari raya Idul Fitrah, dan zakat fitrahnya terbilang qadha.”
Kriteria Orang yang Wajib Bayar Zakat Fitrah
Apa saja kriteria orang yang wajib bayar zakat fitrah?
Zakat fitrah disebut juga dengan zakatul abdan, zakat badan. Hal ini karena zakat fitrah diwajibkan dengan tujuan untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan tercela dan sia-sia yang dilakukan selama berpuasa di bulan Ramadhan. Zakat fitrah ini diwajibkan bersamaan dengan diwajibkannya puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua hijriyah.
Ulama sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap Muslim, baik dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan hadis riwayat imam al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dia berkata;
“Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering. (Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.”
Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan tentang kriteria orang yang wajib membayar zakat fitrah. Dalam kitab Alfiqhul Manhaji, kriteria orang yang wajib membayar zakat fitrah ini disebut dengan syuruthi wujubi zakatil fitrah, syarat-syarat wajib zakat fitrah. Ada tiga syarat wajib zakat fitrah sebagai berikut;
Pertama, beragama Islam. Zakat fitrah tidak wajib bagi non-muslim karena zakat fitrah adalah perbuatan ibadah kepada Allah. Dalam kitab Almughni, Ibnu Qudamah mengatakan; “Zakat fitrah tidak wajib bagi non-muslim, baik merdeka maupun budak. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya zakat fitrah untuk non-muslim merdeka dan baligh.”
Kedua, memiliki kelebihan mu’nah atau biaya hidup untuk dirinya sendiri dan keluarganya pada malam dan pagi hari raya. Yang dimaksud dengan mu’nah di sini meliputi makanan dan lauk pauknya, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain yang layak dan bersifat pokok. Apabila makanan atau hartanya hanya cukup dimakan pada malam dan pagi hari raya, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.
Ketiga, ada pada sebagian bulan Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Dengan demikian, orang yang lahir setelah terbenamnya matahari di awal bulan Syawal, maka tidak wajib membayar zakat fitrah. Begitu pula orang yang menikah setelah terbenamnya matahari di awal bulan Syawal, maka tidak wajib bagi suami membayarkan zakat fitrah istri yang baru dinikahi tersebut.
Kriteria Penerima Zakat Fitrah
Siapa Saja Penerima Zakat Fitrah?
Dalam Alquran disebutkan bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Dalam surah Attaubah ayat 60, Allah berfirman;
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang- orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Semua ini sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam kitab Fathul Qarib, Syaikh Ibnul Qosim Alghazi menjelaskan secara rinci kriteria dari masing-masing delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas;
- Alfuqoro: Adalah orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan sama sekali, atau memiliki harta atau pekerjaan yang tidak dapat menutupi setengah dari kebutuhan hidupnya. Misal seseorang membutuhkan 10.000 rupiah setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, namun ia hanya berpenghasilan 3.000 rupiah. Maka dia tergolong sebagai faqir sehingga dia berhak menerima zakat fitrah.
- Almasakin: Adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang hanya dapat menutupi di atas setengah dari kebutuhannya. Kebutuhan yang dimasksud di sini adalah kebutuhan pokok yang sederhana. Misal seseorang membutuhkan 10.000 rupiah setiap hari, namun dia hanya berpenghasilan 7.000 rupiah. Dalam kondisi seperti ini, dia tergolong miskin dan berhak menerima zakat.
- Al’amilin: Adalah orang yang dilantik secara resmi oleh pemerintah untuk mengelola zakat. Amil zakat hanya berhak menerima zakat apabila tidak menerima gaji dari pemerintah. Sedangkan apabila sudah digaji pemerintah, maka mereka tidak berhak menerima zakat.
- Almuallafah: Adalah orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Maka dia dibantu agar imannya bertambah kuat dengan cara memberikan zakat padanya.
- Firriqab: Adalah hamba sahaya (budak) yang ingin memerdekan dirinya dari majikannya dengan tebusan uang. Dalam hal ini mancakup juga membebaskan seorang muslim yang ditawan oleh orang orang kafir, atau membebaskan dan menebus seorang muslim dari penjara karena tidak mampu membayar tebusan yang ditetapkan.
- Algharimin: Adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan peribadi yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Orang ini sepantasnya dibantu dengan diberikan zakat kepadanya. Juga orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam atau berhutang untuk kemaslahatan umum seperti membangun masjid atau yayasan Islam maka boleh dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
- Fi Sabilillah: Adalah orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah) tanpa gaji dan imbalan demi membela dan mempertahankan Islam dan kaum muslimin.
- Ibnus Sabil: Adalah musafir yang sedang dalam perjalanan yang bukan bertujuan maksiat di negeri rantauan, lalu mengalami kesulitan dan kesengsaraan dalam perjalanannya.
Dari delapan golongan tersebut, maka golongan Alfuqoro dan Almasakin harus diutamakan terlebih dahulu. Hal ini karena zakat fitrah diwajibkan dengan tujuan untuk memberi makan kepada orang fakir dan miskin. Dalam hadis riwayat Abu Daur dari Ibnu Abbas, dia berkata;
“Rasulullah Saw. telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan untuk memberi makanan bagi orang-orang miskin.”
Anggota Keluarga yang Wajib Dibayarkan Zakat Fitrah
Dalam kitab Alumm, imam Syafii mengatakan bahwa ketika seseorang telah memenuhi syarat untuk membayar zakat fitrah atas dirinya sendiri, maka dia juga diwajibkan membayar zakat fitrah atas orang- orang yang wajib dia nafkahi.
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya;
“Sesungguhnya RasulullahSaw mewajibkan zakat fitrah atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari orang-orang yang mereka tanggung nafkafnya.”
Semua orang yang wajib kita nafkahi, maka wajib pula kita membayar zakat fitrah atasnya. Adapun orang-orang yang wajib kita nafkahi adalah orang tua kandung yang faqir, isteri dan anak kandung yang belum baligh dan faqir, atau sudah baligh namun faqir dan belum mampu bekerja.
Adapun anak kandung yang sudah baligh dan sudah mampu bekerja, maka dia wajib membayar zakat fitrah atas dirinya sendiri. Apabila orang tua atau orang lain ingin membayarkan zakat fitrah atas diri anak tersebut, maka harus ada pernyataan perwakilan dan izin dari anak tersebut baik dalam membayarkan zakat fitrah maupun dalam niatnya.
Sedangkan kerabat yang tidak wajib dinafkahi, maka tidak wajib pula untuk dibayarkan zakat fitrah atas dirinya. Bahkan tidak sah apabila dibayarkan zakat fitrah atas dirinya tanpa seizin darinya terlebih dahulu. Apabila ingin membayarkar zakat fitrah atas dirinya, maka harus ada pernyataan perwakilan dan izin terlebih dahulu dari kerabat tersebut.
Imam al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, menyebutkan bahwa saudara kandung dan anaknya, paman dan anaknya dan semua kerabat selain orang tua kandung dan anak kandung tidak wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrah. Yang wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrah hanya orang tua kandung dan anak kandung apabila mereka faqir dan tidak mampu bekerja.
Adapun urutan pembayaran zakat fitrah, ebagaimana disebutkan dalam kitab Alfiqhul Manhaji, harus dimulai dari sendiri, kemudian isteri, anak kandung yang masih kecil, bapak kandung, ibu kandung dan terakhir anak kandung yang telah dewasa namun belum mampu bekerja.
Pengelolaan Dana Zakat
Bagaimana Islam mengatur pengelolaan zakat?
a. Konteks Dahulu
Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, pengelolaan zakat dilakukan langsung oleh panitia khusus yang disebut amil zakat. Mereka mendapat wewenang penuh dari Rasul untuk mendata kaum muslimin yang wajib mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Karena panitia tersebut dibentuk secara khusus dan untuk pekerjaan yang khusus pula, maka data-data terkait para muzakki dan mustahik dapat terdata secara akurat, sehingga kekeliruan berupa salah sasaran dalam pendistribusiannya dapat diminimalisir.
Praktik pengelolaan zakat seperti ini dapat dipahami secara tersirat dari firman Allah Swt, Q.S. al-Taubah ayat 103 berikut :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Selain itu Rasulullah Saw juga pernah berpesan kepada Sahabat Muadz ibn Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman untuk menyebarkan agama Islam di sana. Sebelum ia berangkat, Rasul berkata
“Sesungguhnya Allah Swt telah mewajibkan zakat terhadap harta mereka, yang diambilkan dari orang-orang kaya di antara mereka dan didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Redaksi “ambillah” pada ayat di atas dan kata “diambil” yang terdapat di dalam hadis menurut sejumlah ulama mengindikasikan bahwa pemungutan dana zakat dilakukan secara persuasif oleh amil yang bertugas. Hal tersebut juga terbukti pada masa kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq yang sampai memerangi para muzakki yang enggan mengeluarkan zakat harta mereka. Keengganan tersebut dapat diketahui setelah para amil mendatangi mereka untuk mengambil zakat hartanya, namun mereka tidak mau menyerahkannya.
Imam Ibn Hajr dalam Fath al-Bari- nya menggarisbawahi bahwa alasan Abu Bakr memerangi mereka adalah karena mereka menolak dan bahkan memberontak kepada pemerintahan Abu Bakr. Sehingga karena pemberontakan itu akhirnya Abu Bakr memutuskan untuk memerangi mereka, bukan semata-mata karena keengganan mereka untuk membayar zakat.
Seandainya pemungutan zakat tidak dilakukan secara persuasif sebagaimana yang sudah dijelaskan, maka tidak mungkin Khalifah Abu Bakr mengetahui siapa di antara mereka yang mau dan siapa yang enggan mengeluarkannya.
Di samping itu, praktek seperti ini secara otomatis akan mempermudah muzakki dalam menentukan kadar zakat yang harus mereka keluarkan, karena mereka dibantu langsung oleh para amil yang bertugas untuk menghitungnya. Sehingga kekeliruan dalam menghitung dan mengeluarkan zakat dapat diatasi secara tepat dan cepat.
b. Konteks Indonesia
Adapun dalam konteks Indonesia, pengelolaan dana zakat dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah mendapatkan izin dari kementerian lewat rekomendasi Badan Zakat Nasional (Baznas). Peraturan tersebut sudah ditetapkan oleh undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan peraturan pemerintah No. 14 tahun 2014 terkait pelaksanaan undang-undang No. 23 tahun 2011. Peraturan itu juga diperkuat oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional sebagaimana telah diperbaharui terakhir dengan keputusan Presiden RI No. 27 tahun 2008.
Artinya secara syariat, pengelolaan zakat idealnya harus dikelola langsung oleh badan- badan khusus yang bersifat legal yang bertujuan untuk pengoptimalisasian pengelolaan dana zakat. Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana yang diwacanakan oleh Bapak Menteri Agama RI di atas, pada dasarnya adalah salah satu usaha untuk mempermudah manajemen penarikan zakat. Hanya saja, pemerintah perlu mengkaji prosedur penarikannya secara matang dan transparan, agar jelas siapa saja aparatur sipil negara (ASN) muslim yang wajib berzakat dan siapa yang tidak, berapa besarannya, dan lain sebagainya.
Bolehkah Zakat Fitrah Dibayar pada Pertengahan Ramadhan?
Salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Dan salah satu zakat yang wajib ditunaikan adalah zakat Fitrah. Yakni zakat yang dikeluarkan oleh umat Islam yang memiliki kelebihan bahan makanan pokok, sudah lebih buat kebutuhan makan dirinya sendiri dan juga buat keluarganya pada hari raya idul fitrah.
Zakat fitrah ini dikeluarkan setelah terbenamnya matahari di akhir dari bulan Ramadhan sampai sebelum dilaksanakan shalat idul fitrah. Karena jika dikeluarkan setelah shalat idul fitrah, maka tidak terhitung zakat lagi, tetapi menjadi shadaqah. Sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah yang menyucikan bagi orang yang berpuasa dari perkara yang tidak berguna, ucapan yang jelek dan makanan untuk orang-orang miskin. Maka siapa yang melaksanakannya sebelum shalat (idul fitrah) maka ia adalah zakat yang diterima, dan siapa yang melaksanakannya setelah shalat, maka ia adalah bagian dari shadaqah (saja).” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Lalu apakah diperbolehkan menyegerakan zakat fitrah pada pertengahan Ramadhan?
Di dalam kitab Ibanatul Ahkam syarah Bulugil Maram yang disusun oleh Hasan Sulaiman An Nuri dan Alawi Abbas al Maliki Buku Panduan Ibadah Zakat (Beirut: Darul Fikri, 2008 M. Juz 2, h. 250) telah merangkum pendapat empat mazhab dalam masalah waktu pelaksanan membayar zakat fitrah ketika memberikan syarah hadis tentang zakat fitrah.
Menurut imam Abu Hanifah dan Malik, zakat fitrah itu wajib dilaksanakan mulai dari terbitnya fajar di hari idul fitrah karena hal ini adalah waktu yang ditentukan dengannya fitrah yang hakiki, dan karena waktu yang dekat dengan seorang hamba, maka janganlah didahulukan waktu kewajibannya ini dengan sehari sebelumnya.
Sedangkan menurut imam Syafi’i dan Ahmad, zakat fitrah wajib ditunaikan sebab tenggelamnya matahari di akhir hari dari bulan Ramadhan, karena sesungguhnya adanya idul fitrah adalah sebab tenggelamnya matahari di hari akhir di bulan Ramadhan.
Adapun menyegerakan pembayaran zakat fitrah sebelum waktunya, maka menurut imam Syafi’i boleh mengeluarkan zakat fitrah mulai dari awal bulan Ramadhan, karena ada sebabnya. Sedangkan menurut imam Malik dan Ahmad boleh menyegerakan zakat fitrah sehari atau dua hari saja.
Sementara itu, menurut pengikut imam Abu Hanifah boleh menyegerakan zakat fitrah secara mutlak, tidak ada pemisah antara satu masa dengan masa yang lain menurut pendapat yang shahih, karena sebab wajibnya ditunaikannya zakat telah ada yakni orang yang wajib diberi nafkahnya.
Jadi, menyegerakan membayar zakat fitrah adalah boleh. Tetapi disunnahkannya dibayarkan sebelum melaksanakan shalat idul fitrah sebagaimana hadis Nabi Saw. tersebut di atas.
Zakat Fitrah dengan UangIslam memerintahkan untuk umatnya agar membayarkan zakat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Di antara zakat itu adalah zakat fitrah (atau zakat fitrah sebagaimana biasa dikenal masyarakat Indonesia). di antara perdebatan para ulama fikih, bolehkah membayar zakat fitrah dengan uang? Berikut beberapa pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak boleh membayar zakat fitrah dengan uang. Pendapat ini menggunakan pendapat kalangan mazhab malikiah, syafi’iyyah, dan hanbali.
Pendapat ini pertama didasarkan praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw yang membayar zakat dengan makanan. Makanan menjadi penting bagi orang-orang yang lapar pada hari raya ‘Idul Fitrah. Hal didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw. yang artinya: Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah pada manusia di bulan Ramadlan satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan.
Kedua, didasarkan Pada ‘illat (alasan pembuatan hukum) atas zakat fitrah yaitu quthul biladh (makanan pokok). Jika di Indonesia mungkin pilihan zakatnya bukan dengan kurma, akan tetapi beras, sagu, atau jagung. Karena itulah makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. artinya makanan menjadi faktor penting dalam menyalurkan zakat oleh si Muzakki.
Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh membayar zakat dengan uang. Pendapat ini dinyatakan oleh mazhab Hanafiah. Abu Yusuf yang merupakan ahli fikih kalangan hanafiah cendrung untuk berzakat dengan uang, karena hal itu lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak bercukupan. Pendapat ini juga pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Persoalan ini juga menjadi bahasan ulama kontemporer. Di antara ulama yang mengakomodir keduanya adalah Muhammad Syaltut. Ulama kontemporer asal Mesir ini menyatakan bahwa jika saya tinggal di desa maka saya akan berzakat dengan makanan. Karena konteks itu dianggap cocok bagi masyarakat.
Akan tetapi, Yusuf al-Qaradhawi berbeda pendapat. Dalam kitab Fikh al-Zakat Menurut nya, alasan kenapa dahulu pada zaman Rasulullah Saw, sang muzakki menyalurkan zakat dengan makanan karena konteks waktu itu di mana uang (dinar, dirham) masih sedikit dibandingkan dengan makanan yang melimpah. Artinya akan ada kesulitan jika si Muzakki membayar dengan uang.
Adapun konteks sekarang, di mana uang menjadi faktor utama dalam memenuhi kebutuhan di hari Idul Fitrah, maka menjadi sangat relevan jika uang dijadikan model pembayaran zakat fitrah.
Demikianlah perbedaan pendapat para ulama klasik dan kontemporer tentang zakat uang. Pada akhinya, penggunaan uang memang tidak serta merta dibolehkan secara absolut, ia juga perlu dilihat dari kondisi dan konteks masyarakat.
Artinya penggunaan uang mesti didasarkan pada penghitungan atas makanan sehari-hari yang dikonsumsi. Dengan kata lain, zakat dengan uang disesuaikan jumlahnya dengan zakat makanan.
Mendistribusikan Zakat kepada Saudara Kandung?
Bolehkah mendistribusikan zakat kepada saudara Kandung?
Selain bertujuan untuk menyucikan diri para muzakki (orang yang berzakat) sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Taubah ayat 103, zakat juga mempunyai hikmah dan tujuan untuk membantu mereka yang berkekurangan dari segi ekonomi sehingga mampu menjalankan aturan-aturan agama tanpa harus takut terhadap bayang- bayang kemiskinan. Begitu kira-kira al-Jurjani menjelaskan hikmah zakat dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu.
Untuk itu, Islam telah mengatur secara rinci siapa saja golongan-golongan yang berhak menerima zakat dan mereka yang tidak berhak. Dalam Surah al-Taubah ayat 60, Allah SWT telah menjelaskan setidaknya ada delapan kelompok yang berhak menerima zakat. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sebagai fakir, miskin, ‘amil (petugas zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), hamba sahaya (yang ingin dimerdekakan), orang yang sedang dililit hutang, orang yang sedang dalam perjalanan, dan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah.
Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam karyanya Kifayah al-Akhyar dan Mustafa al-Bugha dalam bukunya al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Syafi’i, masing-masing dari mustahik yang delapan tersebut juga harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Pertama, para mustahik yang telah disebutkan hendaklah seorang muslim. Sehingga orang-orang non muslim tidak berhak menerima zakat dari umat Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Zakat itu diambil dari orang-orang kaya (dari kaum muslimin) dan didistribusikan untuk orang-orang miskin di antara mereka”. (H.R. Bukhari)
Kedua, mereka benar-benar orang yang tidak mampu untuk berusaha, baik karena cacat fisik maupun faktor-faktor sosial lainnya. Dengan demikian, mereka yang berkecukupan dan mampu secara fisik untuk berusaha, tidak boleh menerima zakat.
Rasulullah SAW pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, Hakim dan al-Baihaqi sebagai berikut:
“Orang-orang kaya dan punya fisik yang kuat (untuk berusaha) tidak berhak mendapat bagian harta zakat”.
Ketiga, para mustahik tersebut bukan termasuk tanggungan yang wajib bagi muzakki. Sehingga para mustahik yang menjadi tanggungan muzakki seperti istri, bapak, kakek, nenek, anak, cucu baik yang laki-laki maupun yang perempuan ketika mereka berstatus sebagai fakir atau miskin, tidak boleh diberikan harta zakat.
Download Buku Panduan Zakat
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku-Buku Panduan Zakat ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:Buku Panduan Zakat Praktis - Kemenag RI.pdf
Buku Panduan Ibadah Zakat.pdf
Buku Saku Menghitung Zakat Sendiri.pdf
Buku Panduan Zakat - DompetDuafa.pdf
Kitab Zakat - Syaikh Abdul Aziz bin Baz.pdf
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Panduan Zakat. Semoga bisa bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "Buku Panduan Zakat"
Posting Komentar