Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Berikut ini adalah berkas Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Download file format PDF.
Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus |
Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus:
Materi pada buku ini mencakup:
Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus
Berkebutuhan khusus merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak-anak luar biasa atau mengalami kelainan dalam konteks pendidikan. Ada perbedaan yang signifikan pada penggunaan istilah berkebutuhan khusus dengan luar biasa atau berkelainan. Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan mengembangkan kemampuannya secara optimal, sedang pada luar biasa atau berkelainan adalah kondisi atau keadaan anak yang memerlukan perlakuan khusus.
Memahami anak berkebutuhan khusus berarti melihat perbedaan individu, baik perbedaan antar individu (inter individual) yaitu membandingkan individu dengan individu lain baik perbedaan fisik, emosi maupun intelektual, dan perbedaan antar potensi yang ada pada individu itu sendiri (intra individual). Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk memahami anak berkebutuhan khusus yaitu impairment yang berarti cacat, disability dimana seseorang mengalami hambatan karena berkurangnya fungsi suatu organ yang dimungkinkan karena kondisi cacat, dan handicaped, merupakan keadaan seseorang, yang mengalami hambatan dalam komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan. Kondisi handicaped inilah yang merupakan berkebutuhan khusus, karena untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan termasuk pendidikan dan pengajaran memerlukan perlakuan khusus.
Jumlah anak berkebutuhan khusus antar lembaga ada perbedaan, hal ini sebenarnya wajar, karena setiap lembaga memiliki tujuan yang berbeda sehingga cara pandang dan rumusan pengertian (definisi) anak berkebutuhan khusus bahkan istilah yang digunakan juga berbeda. Jumlah anak berkebutuhan khusus berdasarkan sensus penduduk akan lebih kecil dari angka prakiraan, hal ini berkait dengan sikap masyarakat yang masih banyak enggan mengakui keberadaan anak berkebutuhan khusus. Menurut BPS jumlah penyandang cacat ada 1,48% dari populasi, anak berkebutuhan khusus yang bersekolah menurut Dir. PSLB ada 81.434 anak, sebagai pembanding di negara maju seperti USA anak berkebutuhan khusus ada 11,5% dari populasi.
Pengelompokkan anak berkebutuhan khusus hanya diperlukan untuk kebutuhan penanganan anak secara klasikal, sedangkan untuk kepentingan yang bersifat sosial anak berkebutuhan khusus tidak perlu dikelompokkan. Anak berkebuthan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kelainan Mental terdiri dari:
Kelainan Emosi meliputi:
Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap penyebab anak berkebutuhan khusus adapun faktor tersebut dapat dikelompokkan berikut:
Sedangkan anak berkebutuhan khusus bila ditinjau dari waktu terjadinya kelainan dapat dikelompokkan:
Kelainan yang diderita anak dapat menimbulkan berbagai dampak, baik terhadap keluarga maupun anak itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan adanya anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi:
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di masyarakat masih belum sepenuhnya dapat diterima, sehingga banyak hal yang menyangkut hak anak-anak berkebutuhan khusus belum dapat diporoleh, atau dengan kata lain masih terjadi deskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus baik dalam bidang sosial, hukum maupun pendidikan. Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan gerakan masyarakat internasional yang peduli terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang melahirkan berbagai kesepakatan dan perangkat hukum perundangan yang mengikat. Adapun perjanjian dan kesepakatan serta hukum perundangan yang menaungi anak berkebutuhan khusus dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan yang ada tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus, hanya yang menjadi permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak yang belum ada sanksinya.
Hakikat Layanan
Layanan pada kakikatnya merupakan bentuk jasa yang diberikan oleh seseorang, institusi atau perusahaan kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Dalam konteks anak berkebutuhan khusus, layanan diberikan kepada anak-anak yang mengalami kelainan, baik dari segi fisik, mental-intelektual, dan sosial-emosional sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang diberikan.
Selama ini pemerintah maupun swasta telah banyak memberiakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Selain itu dukungan fasilitas dan ketenagaan (SDM) yang tidak sedikit dalam upaya pembinaan dan pelayanan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus selama ini.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
Pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Hal ini berkenaan dengan adanya hak setiap anak untu memperoleh pendidikan yang baik. Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi juga harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode, atau strategi belajar sangat mungkin dikembangkan pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri anak, memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menggunakan kata-kata atau nada suara yang baik.
Kurikulum, dapat menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dikembangkan sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk anak-anak normal penuh, modifikasi, atau secara khusus dikembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah juga harus mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa didatangkan dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (SLB) sebagai sekolah basis, ataupun guru di sekolah umum yang telah memperoleh pelatihan khusus sebagai guru pendamping untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif.
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan fisik mencakup anak-anak yang mengalami kelainan penglihatan (tunanetra), kelainan fungsi pendengaran (tunarungu), dan anak-anak yang mengalami kelainan tubuh (tunadaksa). Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak tunanetra diklasifikasan menjadi (1) Low vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m, dan (2) The blind, tunanetra berat, yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang, serta (3) sangat berat, yang memilki ketajaman penglihatan dengan visus 0. Secara pedagogis, tunanetra dapat diklasifikasikan menjadi kategori sedang (moderate visual disability), taraf berat (severe visual disability), dan kategori ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability).
Untuk anak tunarungu secara umum diklafikasikan menjadi dua, yaitu kurang dengar (hard of hearing) dan tuli (the deaf). Sedang secara lebih rinci tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi (1) tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25– 45 dB, (2) tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46 – 70 dB, (3) tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71 – 90 dB, dan (4) Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB ke atas.
Materi pada buku ini mencakup:
- Hakikat anak berkebutuhan khusus
- Hakikat layanan
- Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
- Karakteristik anak berkebutuhan khusus
- Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus
- Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SD
Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus
Berkebutuhan khusus merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak-anak luar biasa atau mengalami kelainan dalam konteks pendidikan. Ada perbedaan yang signifikan pada penggunaan istilah berkebutuhan khusus dengan luar biasa atau berkelainan. Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan mengembangkan kemampuannya secara optimal, sedang pada luar biasa atau berkelainan adalah kondisi atau keadaan anak yang memerlukan perlakuan khusus.
Memahami anak berkebutuhan khusus berarti melihat perbedaan individu, baik perbedaan antar individu (inter individual) yaitu membandingkan individu dengan individu lain baik perbedaan fisik, emosi maupun intelektual, dan perbedaan antar potensi yang ada pada individu itu sendiri (intra individual). Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk memahami anak berkebutuhan khusus yaitu impairment yang berarti cacat, disability dimana seseorang mengalami hambatan karena berkurangnya fungsi suatu organ yang dimungkinkan karena kondisi cacat, dan handicaped, merupakan keadaan seseorang, yang mengalami hambatan dalam komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan. Kondisi handicaped inilah yang merupakan berkebutuhan khusus, karena untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan termasuk pendidikan dan pengajaran memerlukan perlakuan khusus.
Jumlah anak berkebutuhan khusus antar lembaga ada perbedaan, hal ini sebenarnya wajar, karena setiap lembaga memiliki tujuan yang berbeda sehingga cara pandang dan rumusan pengertian (definisi) anak berkebutuhan khusus bahkan istilah yang digunakan juga berbeda. Jumlah anak berkebutuhan khusus berdasarkan sensus penduduk akan lebih kecil dari angka prakiraan, hal ini berkait dengan sikap masyarakat yang masih banyak enggan mengakui keberadaan anak berkebutuhan khusus. Menurut BPS jumlah penyandang cacat ada 1,48% dari populasi, anak berkebutuhan khusus yang bersekolah menurut Dir. PSLB ada 81.434 anak, sebagai pembanding di negara maju seperti USA anak berkebutuhan khusus ada 11,5% dari populasi.
Pengelompokkan anak berkebutuhan khusus hanya diperlukan untuk kebutuhan penanganan anak secara klasikal, sedangkan untuk kepentingan yang bersifat sosial anak berkebutuhan khusus tidak perlu dikelompokkan. Anak berkebuthan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kelainan Mental terdiri dari:
- Mental Tinggi
- Mental rendah
- Kesulitan belajar
- Kelainan Tubuh (Tunadaksa)
- Kelainan indera Penglihatan (Tunanetra)
- Kelaianan Indera Pendengaran (Tunarungu)
- Kelainan Wicara
Kelainan Emosi meliputi:
- Gangguan Perilaku
- Gangguan Konsentrasi (ADD)
- Anak Hiperaktive (ADHD)
Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap penyebab anak berkebutuhan khusus adapun faktor tersebut dapat dikelompokkan berikut:
- Faktor heriditer
- Faktor infeksi
- Faktor keracunan
- Kekurangan gizi
Sedangkan anak berkebutuhan khusus bila ditinjau dari waktu terjadinya kelainan dapat dikelompokkan:
- Pre-natal
- Peri-natal
- Pasca-natal
Kelainan yang diderita anak dapat menimbulkan berbagai dampak, baik terhadap keluarga maupun anak itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan adanya anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi:
- Dampak fisiologis
- Dampak psikologis, dan
- Dampak sosiologis.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di masyarakat masih belum sepenuhnya dapat diterima, sehingga banyak hal yang menyangkut hak anak-anak berkebutuhan khusus belum dapat diporoleh, atau dengan kata lain masih terjadi deskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus baik dalam bidang sosial, hukum maupun pendidikan. Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan gerakan masyarakat internasional yang peduli terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang melahirkan berbagai kesepakatan dan perangkat hukum perundangan yang mengikat. Adapun perjanjian dan kesepakatan serta hukum perundangan yang menaungi anak berkebutuhan khusus dapat dikemukakan sebagai berikut:
- UUD 1945 (Amandemen)
- UU No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
- Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
- Deklarasi Bandung tahun 2004 ”Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”.
- Deklarasi Salamanca
- Dsb.
Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan yang ada tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus, hanya yang menjadi permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak yang belum ada sanksinya.
Hakikat Layanan
Layanan pada kakikatnya merupakan bentuk jasa yang diberikan oleh seseorang, institusi atau perusahaan kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Dalam konteks anak berkebutuhan khusus, layanan diberikan kepada anak-anak yang mengalami kelainan, baik dari segi fisik, mental-intelektual, dan sosial-emosional sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang diberikan.
Selama ini pemerintah maupun swasta telah banyak memberiakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Selain itu dukungan fasilitas dan ketenagaan (SDM) yang tidak sedikit dalam upaya pembinaan dan pelayanan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus selama ini.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
- Sekolah Luar Biasa (SLB); Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan.
- Sekolah Luar Biasa Berasrama; Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama.
- Kelas jauh/Kelas Kunjung; Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
- Sekolah Dasar Luar Biasa; SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga.
Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
- Bentuk Kelas Biasa; Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa.
- Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus; Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal.
- Bentuk Kelas Khusus; Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Hal ini berkenaan dengan adanya hak setiap anak untu memperoleh pendidikan yang baik. Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi juga harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode, atau strategi belajar sangat mungkin dikembangkan pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri anak, memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menggunakan kata-kata atau nada suara yang baik.
Kurikulum, dapat menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dikembangkan sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk anak-anak normal penuh, modifikasi, atau secara khusus dikembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah juga harus mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa didatangkan dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (SLB) sebagai sekolah basis, ataupun guru di sekolah umum yang telah memperoleh pelatihan khusus sebagai guru pendamping untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif.
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan fisik mencakup anak-anak yang mengalami kelainan penglihatan (tunanetra), kelainan fungsi pendengaran (tunarungu), dan anak-anak yang mengalami kelainan tubuh (tunadaksa). Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak tunanetra diklasifikasan menjadi (1) Low vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m, dan (2) The blind, tunanetra berat, yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang, serta (3) sangat berat, yang memilki ketajaman penglihatan dengan visus 0. Secara pedagogis, tunanetra dapat diklasifikasikan menjadi kategori sedang (moderate visual disability), taraf berat (severe visual disability), dan kategori ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability).
Untuk anak tunarungu secara umum diklafikasikan menjadi dua, yaitu kurang dengar (hard of hearing) dan tuli (the deaf). Sedang secara lebih rinci tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi (1) tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25– 45 dB, (2) tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46 – 70 dB, (3) tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71 – 90 dB, dan (4) Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB ke atas.
Demikian pula untuk anak tunadaksa yang dapat diklasifikasikan menjadi (1) Cerebral palsy (CP) dalam taraf ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri. Taraf sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus diri sendiri. Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong diri sendiri. (2) Berdasarkan letaknya, mencakup spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya. Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid). Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan cara berjalannya gontai. Campuran, yang mengalami kelainan ganda, dan (3) Polio, dengan tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki; tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan; tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair; dan encephalitis, yang umumnya ditandai dengan adanya demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Klafifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan mental intelektual dan emosional mencakup anak-anak yang mengalami kelainan keterbelakangan mental (tunagrahita), dan anak-anak yang mengalami kelainan perilaku sosial (tunalaras). Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut juga sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak tunagrahita diklasifikasan menjadi (1) tunagrahita ringan; dengan tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar 50-70, dalam penyesuaian sosial maupun bergaul, mampu menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil, (2) tunagrahita sedang; tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar antara 30-50; mampu melakukan keterampilan mengurus diri sendiri (self-helf); mampu mengadakan adaptasi sosial di lingkungan terdekat; dan mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan atau bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered work-shop), dan (3) tunagrahita berat dan sangat berat, mereka sepanjang kehidupannya selalu tergantung bantuan dan perawatan orang lain. Ada yang masih mampu dilatih mengurus sendiri dan berkomunikasi secara sederhana dalam batas tertentu, mereka memiliki tingkat kecerdasan (IQ) kurang dari 30.
Sedang anak-anak yang mengalami kelainan perilaku sosial- emosional (tunalaras) dapat diklasifikasikan menjadi; (1) berdasarkan perilakunya, mencakup (a) beresiko tinggi; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya, (b) beresiko rendah; autism, kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya, (c) kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya, dan (d) agresif; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah; (2) berdasarkan kepribadian, mencakup kekacauan perilaku, menarik diri (withdrawll), ketidakmatangan (immaturity), dan agresi sosial.
Anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami berkelainan akademik dalam konteks ini mencakup anak-anak berbakat dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar khusus. Derajat kelainan masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus tersebut juga sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak berbakat diklasifikasan berdasarkan standar Stanford Binet, yaitu meliputi, (1) kategori rata-rata tinggi , dengan tingkat kapasitas intentelektual (IQ): 110-119, (2) kategori superior, dengan tingkat kapasitas intelektual (IQ) :120-139, dan (3) kategori sangat superior, dengan tingkat intelektual (IQ) :140-169.
Untuk anak berkesulitan belajar spesifik, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi; (1) Kesulitan Berlajar Perkembangan. Pengelompokkan kesulitan belajar pada anak usia di bawah 5 tahun (balita) adalah kesulitan belajar perkembangan, hal ini dikarenakan anak balita belum belajar secara akademis, tetapi belajar dalam proses kematangan prasyarat akademis, seperti kematangan persepsi visual-auditory, wicara, daya deferensiasi, kemampuan sensory-motor dsb., dan (2) Kesulitan Belajar Akademik, Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam kelompok kesulitan belajar akademik, disebabkan karena kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis/bidang akademik seperti berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan berbahasa (disphasia), kesulitan/tidak terampil (dispraksia), dsb.
Selain klasifikasi yang telah disebutkan tersebut, sebenarnya masih banyak klasifikasi lain berdasarkan konsep dan kepentingannya masing- masing. Termasuk di dalamnya adalah klasifikasi untuk anak berkesulitan belajar khusus, berdasarkan gangguan atau jenis kesulitan yang dialami.
Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak-anak berkelainan fisik terdiri dari tunanetra, tunarungu dan tunadaksa, adapun karakteristik kelainan fisik meliputi:
1. Tunanetra
3. Tunadaksa
Tunagrahita adalah seseorang yang memiliki kapasitas intelektual (IQ) di bawah 70 yang disertai dengan ketidak mampuan dalam penyesiuaian diri dengan lingkungan sehingga memiliki berbagai permasalahan sosial, untuk itu diperlukan layanan dan perlakuan pendidikan khusus. Tunagrahita dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu sehingga terdapat berbagai istilah kalsifikasi dan karakteristiknya, menurut psikologi tunagrahita dibagi menjadi mild, moderate, severe, dan profound. Sedang kedokteran membagi menjadi debil, imbesil dan idiot, serta dalam pendidikan dapat di kelompokkan menjadi mampu didik, mampu latih dan perlu rawat. Karakteristik berdasar klasifikasi klinik atau adanya ciri fisik yang khas meliputi Down’s syndrome, kritin, macro cephalus (hidro cephalus), dan microcephalus. Pada dasarnya anak tunagrahita memiliki karakteristik yang relatif homogin berdasar klasifikasinya. Adapun karakteristik tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
Berbakat merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya anak berkelainan mental tinggi yaitu di atas rata-rata anak normal. Adapun karakteristik atau ciri yang menonjol pada anak berbakat meliputi:
Berkesulitan belajar merupakan istilah generik, sehingga mengandung berbagai bentuk kesulitan di segala bidang. Kesulitan belajar spesifik dikenal dengan istilah disfungsi minimal otak (DMO) oleh dunia kedokteran. Berkesulitan belajar spesifik pada dasarnya dapat dipaham dengan 4 demensi yaitu:
Kesulitan belajar dapat dibagi menjadi kesulitan belajar perkembangan bagi anak pra-sekolah dan kesulitan belajar akademik bagi anak usia sekolah. Sedangkan karakteristik spesifik dapat ditunjukkan sesuai dengan sebutan atau gejala yang muncul yaitu: disleksia, disgraphia, dispraksia, diskalkulia, disphasia, body awarness, Dsb. Anak berkesulitan belajar spesifik memiliki karakteristik yang unik setiap anak memiliki karakteristik yang ber beda-beda (heterogen) sehingga untuk penangananya setiap anak akan berbeda sesuai dengan hasil diagnosisnya. Untuk itu penanganan anak tidak ada di sekolah khusus tetapi di sekolah umum dengan kelas remidial.
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut (a) Keseluruhan anak (all the children), (b) kenyataan (reality), (c) program yang dinamis (a dynamic program) , (d) kesempatan yang sama (equality of opportunity), (e) kerjasama (cooperative), (f) kasih sayang , (g) keperagaan, (h) keterpaduan dan keserasian antar ranah, (i) pengembangan minat dan bakat, (j) kemampuan anak, (k) model, (l) pembiasaan, (m) latihan, (n) pengulangan, (o) penguatan Selain prinsip tersebut di atas ada juga prinsip lain yang perlu diperhatikan guru adalah (a) prinsip totalitas, (b) prinsip keperagaan, (c) prinsip berkesinambungan, (d) prinsip aktivitas, dan (e) prinsip individual.
Secara umum, pendekatan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ada dua, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, jika berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua pendekatan yang digunakan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergantung pada kelainan yang dialami anak. Anak tunanetra layanan pendidikan meliputi (1) penguasaan braille, (2) latihan orientasi dan mobilitas, (3) penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa konsep matematika braille, (4) pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra, dan (5) pembelajaran IPA. Anak tunarungu, layanan pendidikan adalah terletak pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Anak tunadaksa layanan pendidikan utama terletak pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya. Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi. Pendekatan terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan anak tunalaras adalah (1) insight-oriented therapies; (2) play therapy; (3) group therapy; (4) behavior therapi; (5) marital and family therapy; dan (6) drug therapy.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan (screening) dan tahap seleksi (identifikasi) setelah teridentifikasi keberbakatan anak, langkah selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagai anak berbakat, yaitu layanan akselerasi, layanan kelas khusus, layanan kelas unggulan, dan layanan bimbingan sosial dan kepribadian.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar spesifik ada tiga macam, yaitu layanan remidiasi, layanan kompensasi dan layanan prevensi.
Fasilitas pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bergantung pada karakteristik masing-masing anak. Fasilitas pendidikan bagi anak tunanetra adalah braille dan peralatan orientasi mobilitas, serta media pelajaran yang menungkinkan anak untuk memanfaatan fungsi perabaan dengan optimal. Fasilitas pendidikan bagi anak tunarungu meliputi audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer, audiovisual, tape recorde, spatel, cermin. Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita adalah latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Fasilitas pendukung pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan aksesibilitas gedung dan ruangan dan fasilitas fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi. Selain itu, bagi anak tunadaksa adalah fasilitas mobilisasi meliputi kruk, splint, brace, dan kursi roda. Fasilitas pendukung pendidikan bagi anak tunalaras lebih berkaitan dengan fasilitas terapi bermain, terapi okupasi, dan fisioterapi.
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di SD
Langkah awal yang dilakukan dalam menemukan dan menentukan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar adalah melalui identifikasi. Secara umum, identifikasi adalah upaya menemukenali anak-anak yang diduga mengalami kelainan, atau berkebutuhan khusus. Kegiatan ini sangat penting dilakukan oleh guru, untuk dapat mememukan dan memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pendidikannya.
Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya melalui observasi yang dilakukan secara seksama dan sistematis, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk melengkapi data atau informasi yang diperoleh melalui observasi tersebut, perlu dilakukan pula wawancara dengan orangtua, keluarga, teman sepermainan, ataupun dengan fihak-fihak lain yang dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan seorang anak. Selain itu identifikasi juga dapat dilakukan melalui teknik tes yang berupa serangkaian tugas yang harus dikerjakan anak, baik yang sederhana buatan guru sendiri ataupun tes psikologi yang telah distandarkan. Tes buatan guru sendiri dapat dirancang berdasarkan usia anak, sedangkan tes psikologi merupakan bentuk tes yang sudah dibakukan.
Sebagai pendalaman materi ini, latihan-latihan dan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk anak berkebutuhan khusus sangat dianjurkan. Melalui aktivitas ini didukung dengan pencermatan karakteristik anak-anak berkebutuhan khusus, maka seorang guru tidak akan mengalami kesulitan dalam menemukenali anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar.
Asesmen merupakan aktivitas yang amat penting dalam proses pembelajaran di sekolah, untuk itu pelaksanaannya harus benar-benar dilakukan secara obyektif dan komprehentif terhadap kondisi dan kebutuhan anak. Pada intinya asesmen berorientasi pada upaya pengumpulan informasi secara sistematis dalam upaya perencanaan dan implementasi pembelajaran siswa di sekolah.
Tujuan daripada pelaksanaan asesmen dalam konteks pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus diantaranya adalah untuk (1) penseleksian anak-anak yang berkebutuhan khusus, (2) penempatan siswa berkebutuhan khusus, sesuai dengan kemampuannya, (3) perencanaan program dan strategi pembelajaran, dan (4) mengevaluasi serta memantau perkembangan belajar siswa. Pelaksanaan asesmen tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu merumuskan tujuannya dengan memperhatikan tahapan ruang lingkup materinya. Langkah selanjutnya adalah merumuskan prosedurnya, yang dapat dilakukan melalui tes formal maupun informal untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Dari hasil informasi yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis guna menentukan tujuan pembelajaran, dan strateginya dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Sebagai tindak lanjutnya adalah implementasi kegiatan pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam upaya pelaksanaan asesmen untuk anak-anak berkebutuhan khusus antara lain melalui observasi, tes formal dan informal, dan wawancara, dengan didukung beberapa instrumen seperti checklist ataupun skala penilaian.
Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang unik, dengan berbagai ragam permasalahan belajar yang dihadapi di sekolah. Untuk mengobtimalkan potensinya, maka perlu dirancang program khusus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan masing-masing individu, yang mungkin selama ini masih mengikuti program umum di sekolahnya.
Program pembelajaran individual (PPI) merupakan salah satu program yang disusun sesuai dengan kebutuhan individu anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus, baik untuk pendidikan jangka pendek atau jangka panjang Langkah awal untuk mengembangkan program pembelajaran individu adalah dengan melakukan identifikasi dan asesmen untuk mengetahui kompetensi dan bidang kesulitan yang dialami oleh seorang anak. Informasi tersebut sangat diperlukan, terutama untuk dapat memberikan layanan pendidikan yang sesuai. Untuk mengembangkan program ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu; (1) mendeskripsikan kompetensi siswa secara rinci pada saat sekarang dalam berbagai bidang pelajaran; (2) merumuskan tujuan, baik jangka panjang (tahunan) ataupun tujuan jangka pendek, secara khusus dalam kegiatan pembelajaran; (3) menentukan teknik dan alat evaluasi untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai; (4) mengembangkan ranah kurikulum yang akan dibuat atau diprogramkan, serta (5) menetapkan strategi pembelajaran, sesuai dengan penekanan pada ranah kurikulumnya.
Pelaksanaan program dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan tim, dan mempersiapkan materi dan lembar kegiatan, fasilitas dan sumber, serta kalender akademik yang akan digunakan. Selama pelaksanaan, kegiatan harus selalu dipantau dan dievaluasi untuk melihat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai siswa.
Klafifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan mental intelektual dan emosional mencakup anak-anak yang mengalami kelainan keterbelakangan mental (tunagrahita), dan anak-anak yang mengalami kelainan perilaku sosial (tunalaras). Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut juga sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak tunagrahita diklasifikasan menjadi (1) tunagrahita ringan; dengan tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar 50-70, dalam penyesuaian sosial maupun bergaul, mampu menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil, (2) tunagrahita sedang; tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar antara 30-50; mampu melakukan keterampilan mengurus diri sendiri (self-helf); mampu mengadakan adaptasi sosial di lingkungan terdekat; dan mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan atau bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered work-shop), dan (3) tunagrahita berat dan sangat berat, mereka sepanjang kehidupannya selalu tergantung bantuan dan perawatan orang lain. Ada yang masih mampu dilatih mengurus sendiri dan berkomunikasi secara sederhana dalam batas tertentu, mereka memiliki tingkat kecerdasan (IQ) kurang dari 30.
Sedang anak-anak yang mengalami kelainan perilaku sosial- emosional (tunalaras) dapat diklasifikasikan menjadi; (1) berdasarkan perilakunya, mencakup (a) beresiko tinggi; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya, (b) beresiko rendah; autism, kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya, (c) kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya, dan (d) agresif; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah; (2) berdasarkan kepribadian, mencakup kekacauan perilaku, menarik diri (withdrawll), ketidakmatangan (immaturity), dan agresi sosial.
Anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami berkelainan akademik dalam konteks ini mencakup anak-anak berbakat dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar khusus. Derajat kelainan masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus tersebut juga sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara khusus.
Secara umum anak berbakat diklasifikasan berdasarkan standar Stanford Binet, yaitu meliputi, (1) kategori rata-rata tinggi , dengan tingkat kapasitas intentelektual (IQ): 110-119, (2) kategori superior, dengan tingkat kapasitas intelektual (IQ) :120-139, dan (3) kategori sangat superior, dengan tingkat intelektual (IQ) :140-169.
Untuk anak berkesulitan belajar spesifik, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi; (1) Kesulitan Berlajar Perkembangan. Pengelompokkan kesulitan belajar pada anak usia di bawah 5 tahun (balita) adalah kesulitan belajar perkembangan, hal ini dikarenakan anak balita belum belajar secara akademis, tetapi belajar dalam proses kematangan prasyarat akademis, seperti kematangan persepsi visual-auditory, wicara, daya deferensiasi, kemampuan sensory-motor dsb., dan (2) Kesulitan Belajar Akademik, Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam kelompok kesulitan belajar akademik, disebabkan karena kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis/bidang akademik seperti berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan berbahasa (disphasia), kesulitan/tidak terampil (dispraksia), dsb.
Selain klasifikasi yang telah disebutkan tersebut, sebenarnya masih banyak klasifikasi lain berdasarkan konsep dan kepentingannya masing- masing. Termasuk di dalamnya adalah klasifikasi untuk anak berkesulitan belajar khusus, berdasarkan gangguan atau jenis kesulitan yang dialami.
Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak-anak berkelainan fisik terdiri dari tunanetra, tunarungu dan tunadaksa, adapun karakteristik kelainan fisik meliputi:
1. Tunanetra
- Fisik, adanya kelainan pada indera penglihatan
- Kemampuan akademik, tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya.
- Motorik, kurang dapat melakukan mobilitas secara umum
- Sosial-emosional, mudah tersinggung dan bersifat verbalism yaitu dapat bicara tetapi tidak tahu nyatanya.
- Fisik, kesan lahiriah tidak menampakan adanya kelainan pada anak
- Kemampuan akademik, tidak berbeda dengan keadaan anak-anak normal pada umumnya.
- Motorik, sering anak tunarungu kurang memiliki keseimbangan motorik dengan baik.
- Sosial-emosional, sering memperlihatkan rasa curiga yang berlebihan, mudah tersinggung.
3. Tunadaksa
- Fisik, jelas menampakkan adanya kelainan baik fisik, maupun motorik.
- Kemampuan akademik, untuk tunadaksa ringan tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Sedangkan untuk tunadaksa berat terutama bagai anak yang mengalami gangguan neuro-muscular sering disertai dengan keterbelakangan mental.
- Motorik, banyak tunadaksa yang mengalami gangguan motorik baik motorik kasar maupun motorik halus.
- Sosial-emosional, anak tunadaksa memiliki kecenderungan rasa rendah diri (minder) dalam pergaulan dengan orang lain.
Tunagrahita adalah seseorang yang memiliki kapasitas intelektual (IQ) di bawah 70 yang disertai dengan ketidak mampuan dalam penyesiuaian diri dengan lingkungan sehingga memiliki berbagai permasalahan sosial, untuk itu diperlukan layanan dan perlakuan pendidikan khusus. Tunagrahita dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu sehingga terdapat berbagai istilah kalsifikasi dan karakteristiknya, menurut psikologi tunagrahita dibagi menjadi mild, moderate, severe, dan profound. Sedang kedokteran membagi menjadi debil, imbesil dan idiot, serta dalam pendidikan dapat di kelompokkan menjadi mampu didik, mampu latih dan perlu rawat. Karakteristik berdasar klasifikasi klinik atau adanya ciri fisik yang khas meliputi Down’s syndrome, kritin, macro cephalus (hidro cephalus), dan microcephalus. Pada dasarnya anak tunagrahita memiliki karakteristik yang relatif homogin berdasar klasifikasinya. Adapun karakteristik tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
- Tingkat ringan, memiliki kemampuan paling tinggi setraf dengan anak kelas 5 SD, mampu di ajar memca, menulis dan berhitung sederhana. Dalam sosialisasi masih mampu mnyesuaikan diri dengan lingkungan sosial secara terbatas.
- Tingkat sedang, memiliki kemampuan akademik maksimal setaraf dengan anak kelas 2 SD, biasanya sering disertai gangguan motorik dan komunikasi sehingga sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, aktifitas sosialnya hanya sebatas untuk memelihara diri sendiri.
- Tingkat berat, anak ini tidak mampu dididik maupun dilatih, kemampuannya paling tinggi setaraf anak pra-sekolah, sepanjang hidupnya anak ini bergantung pada orang lain.
Berbakat merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya anak berkelainan mental tinggi yaitu di atas rata-rata anak normal. Adapun karakteristik atau ciri yang menonjol pada anak berbakat meliputi:
- Karakteristik Intelektual, cepat dalam belajar, rasa ingin tahunya tinggi, daya konsentrasinya cukup lama, memiliki daya kompetetif tinggi.
- Karakteristik Sosial-emosional, mudah bergaul atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, memiliki sifat kepemimpinan (leadership) terhadap teman sebayanya, bersifat jujur, dan memiliki tenggangg rasa serta mampu mengontrol emosi.
- Karakteristik Fisik-kesehatan, berpenampilan menarik, memiliki daya tahan tubuh yang baik terhadap penyakit, dapat memelihara penampilan fisik yang bersih dan rapi.
Berkesulitan belajar merupakan istilah generik, sehingga mengandung berbagai bentuk kesulitan di segala bidang. Kesulitan belajar spesifik dikenal dengan istilah disfungsi minimal otak (DMO) oleh dunia kedokteran. Berkesulitan belajar spesifik pada dasarnya dapat dipaham dengan 4 demensi yaitu:
- Kesenjangan antara kapasitas intelektual dan prestasi belajar
- Adanya disfungsi minimal otak
- Adanya gangguan pada proses psikologi dasar
- Adanya kesulitan pada pencapaian prestasi belajar akademik
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut (a) Keseluruhan anak (all the children), (b) kenyataan (reality), (c) program yang dinamis (a dynamic program) , (d) kesempatan yang sama (equality of opportunity), (e) kerjasama (cooperative), (f) kasih sayang , (g) keperagaan, (h) keterpaduan dan keserasian antar ranah, (i) pengembangan minat dan bakat, (j) kemampuan anak, (k) model, (l) pembiasaan, (m) latihan, (n) pengulangan, (o) penguatan Selain prinsip tersebut di atas ada juga prinsip lain yang perlu diperhatikan guru adalah (a) prinsip totalitas, (b) prinsip keperagaan, (c) prinsip berkesinambungan, (d) prinsip aktivitas, dan (e) prinsip individual.
Secara umum, pendekatan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ada dua, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, jika berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua pendekatan yang digunakan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergantung pada kelainan yang dialami anak. Anak tunanetra layanan pendidikan meliputi (1) penguasaan braille, (2) latihan orientasi dan mobilitas, (3) penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa konsep matematika braille, (4) pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra, dan (5) pembelajaran IPA. Anak tunarungu, layanan pendidikan adalah terletak pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Anak tunadaksa layanan pendidikan utama terletak pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya. Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi. Pendekatan terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan anak tunalaras adalah (1) insight-oriented therapies; (2) play therapy; (3) group therapy; (4) behavior therapi; (5) marital and family therapy; dan (6) drug therapy.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan (screening) dan tahap seleksi (identifikasi) setelah teridentifikasi keberbakatan anak, langkah selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagai anak berbakat, yaitu layanan akselerasi, layanan kelas khusus, layanan kelas unggulan, dan layanan bimbingan sosial dan kepribadian.
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar spesifik ada tiga macam, yaitu layanan remidiasi, layanan kompensasi dan layanan prevensi.
Fasilitas pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bergantung pada karakteristik masing-masing anak. Fasilitas pendidikan bagi anak tunanetra adalah braille dan peralatan orientasi mobilitas, serta media pelajaran yang menungkinkan anak untuk memanfaatan fungsi perabaan dengan optimal. Fasilitas pendidikan bagi anak tunarungu meliputi audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer, audiovisual, tape recorde, spatel, cermin. Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita adalah latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Fasilitas pendukung pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan aksesibilitas gedung dan ruangan dan fasilitas fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi. Selain itu, bagi anak tunadaksa adalah fasilitas mobilisasi meliputi kruk, splint, brace, dan kursi roda. Fasilitas pendukung pendidikan bagi anak tunalaras lebih berkaitan dengan fasilitas terapi bermain, terapi okupasi, dan fisioterapi.
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di SD
Langkah awal yang dilakukan dalam menemukan dan menentukan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar adalah melalui identifikasi. Secara umum, identifikasi adalah upaya menemukenali anak-anak yang diduga mengalami kelainan, atau berkebutuhan khusus. Kegiatan ini sangat penting dilakukan oleh guru, untuk dapat mememukan dan memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pendidikannya.
Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya melalui observasi yang dilakukan secara seksama dan sistematis, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk melengkapi data atau informasi yang diperoleh melalui observasi tersebut, perlu dilakukan pula wawancara dengan orangtua, keluarga, teman sepermainan, ataupun dengan fihak-fihak lain yang dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan seorang anak. Selain itu identifikasi juga dapat dilakukan melalui teknik tes yang berupa serangkaian tugas yang harus dikerjakan anak, baik yang sederhana buatan guru sendiri ataupun tes psikologi yang telah distandarkan. Tes buatan guru sendiri dapat dirancang berdasarkan usia anak, sedangkan tes psikologi merupakan bentuk tes yang sudah dibakukan.
Sebagai pendalaman materi ini, latihan-latihan dan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk anak berkebutuhan khusus sangat dianjurkan. Melalui aktivitas ini didukung dengan pencermatan karakteristik anak-anak berkebutuhan khusus, maka seorang guru tidak akan mengalami kesulitan dalam menemukenali anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar.
Asesmen merupakan aktivitas yang amat penting dalam proses pembelajaran di sekolah, untuk itu pelaksanaannya harus benar-benar dilakukan secara obyektif dan komprehentif terhadap kondisi dan kebutuhan anak. Pada intinya asesmen berorientasi pada upaya pengumpulan informasi secara sistematis dalam upaya perencanaan dan implementasi pembelajaran siswa di sekolah.
Tujuan daripada pelaksanaan asesmen dalam konteks pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus diantaranya adalah untuk (1) penseleksian anak-anak yang berkebutuhan khusus, (2) penempatan siswa berkebutuhan khusus, sesuai dengan kemampuannya, (3) perencanaan program dan strategi pembelajaran, dan (4) mengevaluasi serta memantau perkembangan belajar siswa. Pelaksanaan asesmen tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu merumuskan tujuannya dengan memperhatikan tahapan ruang lingkup materinya. Langkah selanjutnya adalah merumuskan prosedurnya, yang dapat dilakukan melalui tes formal maupun informal untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Dari hasil informasi yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis guna menentukan tujuan pembelajaran, dan strateginya dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Sebagai tindak lanjutnya adalah implementasi kegiatan pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam upaya pelaksanaan asesmen untuk anak-anak berkebutuhan khusus antara lain melalui observasi, tes formal dan informal, dan wawancara, dengan didukung beberapa instrumen seperti checklist ataupun skala penilaian.
Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang unik, dengan berbagai ragam permasalahan belajar yang dihadapi di sekolah. Untuk mengobtimalkan potensinya, maka perlu dirancang program khusus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan masing-masing individu, yang mungkin selama ini masih mengikuti program umum di sekolahnya.
Program pembelajaran individual (PPI) merupakan salah satu program yang disusun sesuai dengan kebutuhan individu anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus, baik untuk pendidikan jangka pendek atau jangka panjang Langkah awal untuk mengembangkan program pembelajaran individu adalah dengan melakukan identifikasi dan asesmen untuk mengetahui kompetensi dan bidang kesulitan yang dialami oleh seorang anak. Informasi tersebut sangat diperlukan, terutama untuk dapat memberikan layanan pendidikan yang sesuai. Untuk mengembangkan program ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu; (1) mendeskripsikan kompetensi siswa secara rinci pada saat sekarang dalam berbagai bidang pelajaran; (2) merumuskan tujuan, baik jangka panjang (tahunan) ataupun tujuan jangka pendek, secara khusus dalam kegiatan pembelajaran; (3) menentukan teknik dan alat evaluasi untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai; (4) mengembangkan ranah kurikulum yang akan dibuat atau diprogramkan, serta (5) menetapkan strategi pembelajaran, sesuai dengan penekanan pada ranah kurikulumnya.
Pelaksanaan program dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan tim, dan mempersiapkan materi dan lembar kegiatan, fasilitas dan sumber, serta kalender akademik yang akan digunakan. Selama pelaksanaan, kegiatan harus selalu dipantau dan dievaluasi untuk melihat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai siswa.
Download Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Download File:
Bahan Ajar Cetak Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus - Suparno.pdf
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Semoga bisa bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "Buku Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus"
Posting Komentar