Sejarah Senam

Menurut sejarah, Istilah senam atau gymnastic berasal dari bahasa Yunani yang berarti menerangkan bermacam-macam gerak yang dilakukan oleh seseorang dengan tanpa busana atau telanjang. Dalam masa abad yunani kuno senam tidak dipertandingkan , tetapi hanya untuk mempercantik tubuh. Kemudian dari waktu ke waktu dalam perkembangannya semua melihat bahwa dalam gerakan-gerakan senam banyak membawa manfaat yang positif bagi kesehatan, kemudian senam dikembangkan menjadi olahraga umum dengan menggunakan pakaian yang khusus olahraga sehingga tidak lagi dilakukan dengan telanjang.

Senam mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1912, ketika senam pertama kali masuk ke Indonesia pada jaman penjajahan Belanda. Masuknya olahraga senam ini bersamaan dengan ditetapkannya pendidikan jasmani sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Dengan sendirinya senam sebagai bagian dari penjaskes juga diajarkan di sekolah. Senam yang diperkenalkan pertama kali pada waktu itu adalah senam sistem Jerman. Sistem ini menekankan pada kemungkinan-kemungkinan gerak yang kaya sebagai alat pendidikan. Lalu pada tahun 1916 sistem itu digantikan oleh sistem Swedia (yang menekankan pada manfaat gerak), sebuah sistem yang dibawa dan diperkenalkan oleh seorang perwira kesehatan dari angkatan laut kerajaan Belanda, bernama Dr. H. F. Minkema. Lewat Minkema inilah senam di Indonesia mulai tersebar, terutama ketika ia pada 1918 membuka kursus senam swedia di kota Malang untuk tentara dan guru. Namun demikian, cikal bakal penyebaran olahraga senam dianggap berawal dari Bandung. Alasannya, sekolah pertama yang berhubungan dengan senam didirikan di Bandung, ketika pada thun 1922 di buka MGSS (Militaire Gymnastiek en Sporschool). Mereka yang lulus dari sekolah tersebut selanjutnya menjadi instruktur senam Swedia di sekolah-sekolah. Melihat perkembangannya yang baik, MGSS kemudian membuka cabang-cabangnya antara lain di Bogor, Malang, Surakarta, Medan dan Probolinggo.

Masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 merupakan akhir dari kegiatan senam yang berbau barat di Indonesia. Jepang melarang semua bentuk senam di sekolah dan di lingkungan masyarakat, digantikan oleh “Taiso”. Taiso adalah sejenis senam pagi (berbentuk kalestenik) yang harus dilaksanakan di sekolah-sekolah sebelum pelajaran dimulai, dengan iringan radio yang disiarkan secara serentak. Sebelum dan sesudahnya, murid-murid diharuskan memberi hormat kepada kaisar Jepang, Caranya, dengan aba-aba yang dikumandangkan yang berbunyi “sei kei rei,” semua murid harus membungkuk dalam-dalam menghadap utara (Tokyo) di mana kaisar Tenno Heika bersemayam. Jaman Taiso tidak berlangsung lama. Pada jaman kemerdekaan senam yang diwajibkan Jepang ditentang di mana-mana. Dengan penolakan ini, semua warisan pemerintah Belanda akhirnya dipakai kembali di sekolah-sekolah. Peristiwa penting dalam olahraga senam di jaman kemerdekaan terjadi pada tahun 60-an. Peristiwa penting pertama adalah didirikannya induk organisasi senam Indonesia pada 14 Juli 1963. Induk organisasi tersebut disebut PERSANI, yang merupakan singkatan dari Persatuan Senam Indonesia. Ketua PB Persani pertama adalah Bapak R. Suhadi. Peristiwa penting kedua terjadi pada tahun 1964, di mana cabang senam menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dalam GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang bisa diartikan sebagai pekan olahraga negara-negara yang baru muncul. Sebagai mana diketahui, Ganefo adalah produk pemikiran politik Soekarno (Presiden pertama RI) untuk menggalang kekuatan negara-negara baru di percaturan international, erta sekaligus sebagai balasan atas tindakan IOC yang memecat Indonesia dari keanggotaannya. Negara yang berpartisipasi pada cabang senam tersebut adalah Cina, Rusia, Korea, Mesir, dan tuan rumah Indonesia. Adapun cabang senam yang dipertandingkan adalah senam artistik.

Itulah tonggak awal perkembangan senam di Indonesia hingga sekarang. Dari peristiwa Ganefo itulah senam artistik mulai dikenal luas di Indonesia, sehingga pada tahun 1969, senam dipertandingkan untuk pertama kalinya di PON VII di Surabaya. Namun demikian, karena kekhususan alat serta minimnya sumber daya manusia yang terlibat, perkembangan cabang olahraga senam di Indonesia seolah berjalan lamban. Ini bisa dilihat dari prestasi pesenam Indonesia yang tidak pernah mampu berbicara di tingkat dunia, paling-paling hanya di tingkat SEA Games. Dilihat dari penyebarannya di tingkat nasional senam juga terbilang lamban, karena hingga saat ini (1999), hanya 18 daerah tingkat I yang sudah memiliki Pengurus Daerah (Pengda), itupun dengan catatan hanya 10 Pengda yang tercatat aktif.

Sistem senam yang Berpengaruh

Untuk melihat sistem senam yang berpengaruh pada perkembangan sistem senam di Indonesia, mau tidak mau kita harus melihat juga sistem-sistem senam yang berpengaruh di Belanda, karena pada hakekatnya senam di Indonesia merupakan kepanjangan sejarah senam Belanda.

a. Pengaruh sistem Jerman di Negeri Belanda.

1. Carl Euler (1809-1885) Carl Euler datang ke Belanda dengan memperkenalkan senam yang diajarkan secara metodis di perkumpulan dan sekolah-sekolah. Meskipun demikian, sebenarnya perkembangan metodik senam di negeri Belanda dimulai dari sekolah-sekolah marinier, yang kemudian menyebar ke sekolah umum lewat para perwira yang telah bebas tugas (pensiun). Dan satu hal harus dicatat, bahwa pengaruh turnen ini dianggap mengandung aspek negatif karena terlalu besarnya penekanan pada aspek prestasi daripada terhadap unsur pendidikannya.

2. Spiesz Lama kemudian diperkenalkan pula metode Spiesz (1862) yang menekankan pada penggunaan alat-alat seperti palang tunggal, palang sejajar, dan tiang untuk memanjat. Menurut Spiesz senam tidak hanya untuk mencapai ketangkasan (prestasi), tetapi juga untuk kesehatan dan penguasaan diri. Sejak tahun 1863 gymnastiek di negeri Belanda menjadi pelajaran wajib.

b. Pengaruh Sistem Swedia di negeri Belanda Pada tahun 1910,
Sistem Jerman mulai tergeser popularitasnya oleh sistem Swedia. Kelebihan sistem ini dinilai dari kepraktisannya untuk bisa dilakukan di sekolah-sekolah, karena bisa dilakukan secara klasikal. Di samping itu, sistem Swedia dianggap memiliki kelebihan karena lebih menekankan pada manfaat dari gerakan-gerakannya. Pendukung sistem Swedia di Belanda adalah H.V. Blijenburg. Ia berpropaganda tentang betapa pentingnya sistem Swedia bagi peningkatan kesehatan (manfaat) pemakainya. Ketika sistem Swedia masuk ke negeri Belanda, senam di Indonesia masih menganut sistem Jerman, yaitu turnen dari Jahn dan metode Spiesz, yang tepatnya sistem ini masuk pada tahun 1912. Setelah bertahan sekitar 4 tahun, lalu sistem Jerman ini tergeser oleh sistem Swedia yang dibawa dan diperkenalkan oleh Dr. H. F. Minkema.

c. Pengaruh Sistem Denmark di negeri Belanda 
1) Niels Bukh Setelah Perang Dunia I, pengaruh sistem Swedia mulai tergeser oleh sistem Denmark yang dibawa ke Belanda oleh Niels Bukh. Niels Bukh menilai bahwa sistem senam Swedia kurang dapat membentuk sikap dan gerak. Anak cukup tangkas, namun kurang lentuk. Dari situ ia kemudian menciptakan latihan peregangan, yang digabungkannya dengan latihan ketangkasan dan kekuatan menjadi “Latihan Pendahuluan.” Latihan pendahuluan inilah yang menjadi cikal bakal latihan persiapan untuk menuju ke inti latihan. 2) J. Thulin Thulin juga dianggap sebagai pembaharu senam sistem Swedia. Melalui bukunya, Si Buyung, ia menciptakan latihan yang sesuai dengan dunia anak-anak.

d. Pengaruh Sistem Austria Pembaruan dari Swedia dan Denmark (Skandinavia) 
Munculnya hampir bersamaan dengan pembaharuan di salah satu negara Eropa, yaitu Austria. Gerakan pembaharuan dari Austria itu dipelopori oleh Gaulhofer dan Streicher (lebih dikenal dengan singkatan G.S.), yang berusaha meletakkan dasar yang lain setelah selesainya perang dunia (PD) I. Sistem ini berusaha menyesuaikan isi latihannya dengan usia anak didik serta menekankan pada kontraksi otot secara dinamis. Tokoh yang membawa dan mempopulerkan sistem Austria ke negeri Belanda adalah J.M.J Korpershoek, K.H. Van Schagen, dan W. Rob. Lalu sistem Austria ini masuk ke Indonesia dan bertahan cukup lama sebagai sistem yang dianut oleh para ahli, baik sebelum maupun sesudah jaman kemerdekaan, dengan hanya terputus sementara ketika pasukan Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942.

e. Metode STO Bandung 
Setelah perang dunia ke II, Burger dan Groll menerapkan sistem Austria lebih lanjut. Sayangnya sistem baru ini tidak dapat berkembang pesat di Indonesia, karena kurangnya tenaga ahli dan kecenderungan inertia masyarakat sendiri terhadap sesuatu yang dianggap baru. Kondisi demikian bertahan cukup lama, hingga tahun 1963.

Menyadari kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, beberapa pembina senam dari STO Bandung mulai memikirkan upaya pembaharuan. Tercatat, pembaharuan tersebut diupayakan dalam wilayah metode yang dirasa kurang menekankan pada aspek prestasi. Lewat pemikiran dan upaya yang dilakukan Drs. H. M. Irsan, MA. dan Drs. Imam Hidayat, keduanya dosen senam STO Bandung, pada tahun 1964 lahirlah metode baru yang disebut Metode STO Bandung. Metode ini secara otomatis segera menggeser pemakaian metode Gaulhofer dan Streicher yang sebelumnya berlaku di mana-mana. Akhirnya, metode ini dijadikan rujukan di beberapa STO lain serta pengajaran senam di sekolah-sekolah serta perkumpulan senam di seluruh Indonesia. Untuk sekedar informasi agar sejarah metode STO Bandung ini tidak hilang begitu saja, maka dibawah ini diturunkan perbedaan antara metode Gaulhofer dan Streicher dan metode STO Bandung. Metode GS. (Austria) A. Latihan Pendahuluan B1. Latihan Normalisasi (latihan tubuh) B2. Latihan Keseimbangan (latihan koordinasi) B3. Latihan Kekuatan dan Ketangkasan (latihan prestasi) B4. Latihan Jalan dan Lari B5. Latihan Lompat C.Latihan Penenangan Metode STO Bandung I. Pendahuluan 1. Latihan Pemanasan 2. Latihan Kelentukan II. Pembentukan III. Prestasi IV. Pembekalan : Kekuatan, daya ledak/power, daya tahan. V. Penenangan


Sumber https://www.olahragakesehatanjasmani.com/

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Senam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel