Tafsir Kontemporer



Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date . Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i.

Merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an pemilahan metode tafsir al qur`an kepada empat metode (1). Ijmali ( Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqarin ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i ( Tematik ), ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual ( menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer. Dalam makalah ini penulis berusaha melacak tentang corak dan metodologi tafsir modern kontemporer serta para tokohh-tokoh yang ikut andil dalam menggagas dan mengengbangkan wacana tafsir modrn kontemporer.

Pengertian Tafsir Kontemporer

Ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan Kontemporer. Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arab تفسير atau berasal dari kata ا فسر –فسر artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna kata الايضاح والشرح penjelasan atau komentar.[1]

Sedangkan secara terminology tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan pemahamannya.[2]

Lebih jelas lagi, mari kita perhatikan beberapa terminologi dari beberapa ulama:[3]

1. Menurut Syekh al-Jazairi dalam Shahih at-Taujih
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau makna yang mendekatinya, atau engan jalan mengemukakan salahsatu dilalah lafazh tersebut”
2.Menurut az-Zarkasyi
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hokum dan hikmahnya.”
Secara teoritis, tafsir berarti usaha untuk memperluas makna teks Al Qur`an,Sedangkan secara praktis berarti usaha untuk mengadaptasikan “Teks al qur`an dengan situasi kontemporer seorang mufasir. Berarti tafsir modern adalah; usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al qur`an dengan tuntutan Zaman.[4]

Jadi Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya.

Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris( contemporary)[5]. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermaknapada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.[6]

Tak ada kesepakatan yang jelas tentang Istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 stsu 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern[7].

Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.[8]

Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya.

Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain[9]. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer[10].

Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah statemen yang tidak bolleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produ-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern[11].

Sejarah Munculnya Tafsir Modern Kontemporer

Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.[12]

Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date [13].

Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting[14]. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya[15]. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull ( w. 1978 ), Hasan Hanafi ( wafat . Bita Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman[16].


Sejarah Perkembangan Tafsir Kontemporer

Segala sesuatu yang berkembang tentunya memiliki proses perubahan bentuk atau hanya perubahan sifat-sifatnya. Sebagaimana Al-Qur’an, bentuknya memang tidak berubah karena ia merupakan “teks baku” atau “teks Mati” seiring berhentinya proses pewahyuan, sehingga tidak lagi dapat berkembang guna menjawab persoalan kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses pewahyuan. Namun, makna yang terkandung didalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman, karena sebagaimana kita yakini bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semua manusia bahkan semua makhluk yang ada di muka bumi. Tentunya tidak hanya dilihat dari sisi kata rahmatan lil’alamin, namun juga perlu dilihat dari sisi proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman. Ini tiada lain adalah metode pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an sendiri dengan tetap mengacu pada aturan-aturan penafsiran yang telah disepakati ulama. Model penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir kontekstual. Penafsiran kontekstual ayat sebetulnya sudah ada sejak masa Islam awal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka penafsiran kontekstual dipakai oleh muslim salaf (klasik) dan Muslim Khalaf (Kontemporer).

Selanjutnya akan kita bahas beberapa tinjauan tentang sejarah perkembangan tafsir ini yakni dari segi Corak penafsiran, Kodifikasi Tafsir dan terakhir ditinjau dari metode penafsiran.

1. Perkembangan Tafsir ditinjau dari Corak Penafsiran

a). Masa Klasik (salaf)
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa proses pewahyuan berlangsung, nabi Muhammad SAW sebagai penafsir atau mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang bersifat samar, hal ini berlangsung sampai wafatnya beliau, namun harus kita akui bahwa riwayat-riwayat tentangnya tidak sampai kepada kita atau memang penafsiran-penafsiran beliau tidak mencakup seluruh Al-Qur’an. Sehingga sepeninggal Rasulullah para sahabat menafsirkan Al-Qur’an melalui Ijtihad merka sendiri terutama sahabat yang memiliki kemampuan dibidang itu seperti: 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.

Selanjutnya ada pula sahabat yang menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an terutama sejarah atau kisah-kisah para nabi yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada Ahlul Kitab yang telah memeluk Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang menjadi cikal bakal Israiliyat.

Para sahabat yang tersebut diatas mempunyai murid-murid dari kalangan tabi’in, yang kemudian lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan tabi’in seperti (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan al-Bashriy, Amir al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi al-Ma'tsûr. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

b). Masa Kontemporer (Khalaf)
Setelah berakhirnya periode pertama sekitar tahun 150 H, maka mulailah periode selanjutnya yang diawali dengan proses perkembangan hadits yang cepat, saat itu bermunculan hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi'in.

Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.

Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Quran di bidang ini. (b) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (c) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak selanjutnya yakni lebih terfokus pada sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Salah satu tokoh corak ini ialah Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M).

2. Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal ini dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ânî al-Qur'an.

3. Metode Tafsir
Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf

Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat al-Baqarah, Ali 'Imran, dan ar-Rûm, sehingga untuk mengetahui pandangan al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.

Disadari pula oleh para ulama, khususnya asy-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.

Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.

Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.

Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

Corak Tafsir Modern Kontemporer

Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i.[17]

Tafsir `lmi
Setiap muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan" ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).[18]

Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, Dan lain-lain. Bahkan secara vocal Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam al qur`an.

1. Madrasah tafsir filologi
Amin AL Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraong mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dlam al qur`an yang tidak htanya menggunakan kamus saja, tetap yang juga dengan kata-kata al qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran al qur`an. Istrinyalah, yakni Bint Syathi, yang merealisasikan gagasn-gagasannya dalam bentuk penafsiran . Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.

2. Madrasah adabi ijtima`i
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, alqur` an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk –bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,. Pokok-pokok pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.

Abduh menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat ( legenda-legenda Yahudi dan Nasrani ) untuk menfsirkan al qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat Israiliyyat.[19]

Metode Modern Kontemporer

Dalam melakukan penafsiran al qur`an, seorang Mufasssir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidakjarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer.

Adapun tafsir yang mrujuk ulama salaf adalah. (1). Tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut al tafsir bi al ma`tsur, (2).. Tafsir yng berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan al tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan (3). Tafsir yang berdasarkan isyarat yang popular dengan nama al tafsir al Isyri.[20]

Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an misalnyaal Farmawi (di Indonesia ) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –adalah pemilahan metode tafsir al qur`an kepada empat metode (1). Ijmali ( Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqarin ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i ( Tematik ). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyra`I, dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`I, ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual ( menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.

Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan untuk mempermudah penelusuran sejarah metode tersebut, dan untuk melengkapi satu sama lainnya.[21]

Metodologi Tafsir Kontekstual

Istikah kontekstual sedikitnya mengandung tiga pengertian

1. Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan yang dewasa ini yang umumnya mendesak. Sehingga arti kontekstual identik dengan situasional

2. Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, dan masa mendatang; dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini, dan memprediksi makna ( yang dianggap relevan ) dikemudian hari.

3. Mendudukan antara yang sentrral dan yang periferi, dalam arti yang sentral adalah teks al qur`an, dan yang periferi adalah terapannya. Selain itu juga mendudukan al qur`an sebagai sentral moralitas.

Metode kontekstual secara sebutan sial berkaitan erat dengan Hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang dspat berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosufis.[22]

Jadi apabila metode ini dipertemukan dengan kajian teks al qur`an, maka persolan dani tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al qur`an hadir ditengah-tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini.[23]

Pada dasarnya Hermeneutik berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana, maupun tulisan. Dengan demikian Hermeneutik merupakan cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Keeratan Hermeneutik dengan bahasa membuat wilayah penafsirannya menjadi sangat luas, terutama dalam kaitannya dengan ilmu humanistik, sejarah, hukum, agama ( termasuk kajian tafsir al qur`an ), filsafat, seni, kesusastraan dan linguistic Disiplin ilm,u yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi, misalnya al qur`an memerlukan interpretasi atau hermeneutic , sehingga dapat dimengerti[24]. Metode hermeneutik yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu juga tidak seragam, namun sangat beragam. Keberagaman ini tentu saja muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, namun juga adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode yang ada.[25]

Amin al Khulli ( 1895-1966 ) dqn Fazlur Rahman, barangkali dapat dicatat diantara sekian tokoh yang menggagas perlunya penafsiran al qur`an dengan metode kontekstual. Meski keduanya tidak pernah menghasilkan karya tafsir.[26]

Pendekatan metodologi yang digagas Amin al Khulli misalnya; menggunakan teori sastra kontemporer yang menggabungkan kritik intrinsic dan eksttrinsik dlam mengkaji teks al qur`an. Kajian ini telah membawa pada pergeseran hermeneutic teks. Dari Untikable menjadi Thinkable. Menurutnya; mengkaji al qur`an haruslah menggabungkan dua perangkat analis , yakni Dirasah maa haul al qur`an ( yang m eliputi setting historis, kultural, dan kritik sejarah saat wahyu diturunkan . Dan selanjutnya adlah Dirasah fi al qur`an Nafsihi . Anlis ini menitikberatkan pada perhatian yang hati-hati terhadap stuktur kata dan kalimat al qur`an, gaya bahasa, relasi sintagnasi dan paradigmatis kata. Serta aspek-aspek lain yang masih menjadi bagian dari disiplin Linguistik kebahasaan.

Kedua pendekatan Amin al Khulli ini telah dipraktekan dengan baik oleh Bint al Syathi; dalam tafsir al Bayani Li al Qur`an al Karim. Serta Maqal fi al Insan; Dirasah Qur`aniyyah.

Menurut Bint Syathi Kata Nas ( الناس ) Dan Insan (الانسان) . Meskiopun memiliki makna dasar yang berbicara tentang “ manusia ” ternyata memiliki konsekwensimakkna relasi yang berbeda. Menurut Bint Syathi Kata al Basyar ( البشر), maempunyai arti manusia dalam pengertian bioloigis, sama seperti makhluk lain yang melekukan aktivitas biologis, sementara kata al Insan dan al Nas mengandung makna; manusi sebagai makhluk budaya dan creator peradaban.[27]

Pendekatan yang tidak jauh berbada juga dilakukan oleh Fazlur RAhman . Misdalnya ketika ia ingin memaham,I literal dari kata Rida, menurut al qur`an dengan nmengemukakan ayat terkait, riba dapat berarti;

(1). to grow ( berkembang ) Al Hajj (22 ) : 5. وترى الارض هامدة فاذا انزلنا عليها الماء اهتزت وربت
“ Kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila kami turunkan air di atasnya , hiduplah bumi itu dan berkembang “

(2). To increase ( meningkat; brtambah ) al Rum ( 30 ) : 39. وما اتيتم من ربا ليربوا من اموال الناس فلا ير بوا عند الله “ Dan sesuatu riba ( bertanbah ) yang kamu berikan agar ia menabah pada harta manusi, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah “

(3). To rrise ( naik, misalnya, keatas bukit ) al Mu`minun ( 23 ) : 50 . واوينهما الى ربوة
“ Dan kami melindungi mereka ( Isa dan Ibunya ) Di suatu tanah tinggi Yang datar ”

(4). To swell ( mengembang, misalnya, buih ). Al Ra`d ( 13 ) : 17. فا حتمل السيل زبدا رابيا
“ Maka arus itu membawa buih yang mengembang “

( 5 ).To nurture; to raise (memelihara, mengasuh, dan membesarka, misalnya, seorang anak ). Al Isra ( 17 ) ; 24.ربى ارحمهما كما ربيا نى صغيرا
“ Wahai tuhanku, kasihanilah mereka berdua,sebagaimana mereka berdua telah mendidik ( mengasuh dan memelihara aku waktu kecill )"

( 6 ). Augmentation, increase in power ( penambahan, peningkatan kekuatan ). Al Nahl (16 )
ان تكون امة هي اربى من امة
“ Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya ( sehingga lebih kuat dari golongan lainnya ) “

Langkah ini disajikan Fazlur Rahman sebagai bagian dari metode tafsir yang disebutnya sebagai gerakan ganda. Pada gerakan pertama, metode ini , dilakukan penelusuaran makna teks yang sejajar dengan konteks pada waktu al qur`an diturunkan, karenanya pesan al qur`an harus dipelajari secaara kronologis. Kemudian perbedaan antara ketetapan huklum dengan sasaran atau tujuan al qur`an, dan menggali prrinsip-prinsip umum al qur`an melalui pemahaman konteks sosiologis masyarakat Makkah abad ketujuh masehi. Selanjutnya pada gerakan yang kedua, mengkaji kondisi sosiologis masyarakat kontemporer di atas mana prinsip-p[rinsip umum al qur`an itu yn g nantinya dapat diterapkan[28].

Uraian di atas menyimpulkan bahwa diskursus para mufassir modern diarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al qur`an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Mereka ingin membuktikan bahwa al qur`an benar-benaar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman. Apa yang dilakukan mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio kultural masing-masing , dan tidak cocok dengan sosio-kultural diantara mereka. Oleh karena itu, dalam kemunculan mereka dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-nufasir modern di tempat lainnya[29].

FOOTNOTE
[1] A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Pustaka Progresip, 1997) hal. 1005
[2] Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8 (google com.)
[3] D.R. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CP PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 210
[4] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 283
[5] http://ushuluddins.multiply.com/journal/item/30
[6] …….., Soft war KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) v1.3
[7] Ahmad Syukri, “Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman” ( Jambi : Sulton Thaha Press, 2007 ), hal 43
[8] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998) hal. 93
[10] http://ushuluddins.multiply.com/journal/item/30
[11] Rosikhun Anwar, ..................hal 283
[12] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 282
[13] Nurkholis Setiawan, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer “, Jurnal study Al Qur`an, ( Ciputat : Pusat study Al Qur`an ( PSQ ) ), 2006), hal 93
[14] \Syukri, “Metodologi Tafsir Al Qur`an................................., hal 58
[15] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 283
[16] Nurkholis, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer ...................... hal 93
[17] Rosikhun.........................,hal 284
[18] Nurkholis..........................,hal 94
[19] Rosikhun ............................hal285-286
[20] Ahmad Syukr.................., hal 44-45
[21] Ibid,hal 46
[22] Ibid,hal 58
[23] Ahmad Syukri, .............................hal 58
[24] Ibid, hal 77
di akses tangal 7 pril 2011
  • http://ushuluddins.multiply.com/journal/item/30 akses tangal 7 pril 2011
  •  
  • #.Umox-nCR4rU


  • Sumber http://www.zulfanafdhilla.com/

    Belum ada Komentar untuk "Tafsir Kontemporer"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel