Sejarah Tafsir Al-Quran Pada Periode Tabi'in (Abad II Hijriah)

 Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir Sejarah Tafsir Al-Quran Pada Periode Tabi'in (Abad II Hijriah)

Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada postingan ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka.

Madrasah Tafsir

Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:

1. Madrasah Makkah
Madrasah Mekkah atau Madrasah Ibnu Abbas. Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain;

  1. Dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda,
  2. Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy.

Ibnu Taimiyah berkata:
“ sepandai-pandai ulama tabi’in dalam urusan tafsir ialah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama’-ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan Malik bin Anas” [Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 186.]
 Yang paling terkenal menurut Ibn Taimiyyah dikalangan tabi’in adalah Mujahid dan Sa’id ibn Jubair, dia berkata:
“oleh karena mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar, berpeganglah Asy-Syafi’I dan al-Bukhary kepadanya.” Annawawy berkata”apabila kamu telah mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu”. [Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 186.]
Namun sebagian ulama’ tidak menerima tafsir Mujahid, dengan alasan bahwa beliau banyak bertanyak dengan ahli kitab. [lihat: Ibnu Jarir: 344]

Sufyan ats-Tsaury berkata :
“Ambilah tafsir al-Qur’an dari empat ulama besar yaitu Sa’id ibn Juabair, Mujahid, Ikrimah dan Dhahak ibn Muhazim”. [Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 186.]
Qatadah berkata:
"Ulama tabi'in yang paling ahli dalam urusan ibadah adalah Atha' Abi Rabah, dalam urusan tafsir adalah Sa'id ibn Jubair, dalam urusan sejarah (sirah nabawiyah) adalah Ikrimah dan yang paling ahli dalam urusan halal-haram atau fiqih ialah Hasan Al-Bashri" [Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 186.]
Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkah yang mengajarkan penafsiran Al-Qur’an kepada tabiin dengan menjelaskan hal-hal yang musykil.Para tabiin tersebut kemudian meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya serta kemudian mentransfer kepada generasi berikutnya. Sementara itun dalam hal metode penafsiran , aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).

Murid-murid beliau diantaranya:

a. Mujahid bin Jubair, Ia adalah Mujahid ibn Jabr al-Makki Maula al-Sa’ib ibn Abi al-Sa’ib, murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya danMujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh kali.” Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai 30 kali adalah untuk hapalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata, aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaiman ia turun.

b. Said bin Jubair, Ia adalah Muhammad Sa’id ibn Jubair ibn Hisyam al-Asadi, berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan imam tabi’in. Ia sangat menguasai tafsir , hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan itu.

Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun demikian, ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti tafsir.

c. Ikrimah Maula ibnu Abbas, Ia adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas, berasal dari Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya.

Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang tafsir. Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’, Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan masalah ini.

Dianatara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’i: Tidak ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya. Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia tidaktsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari berkata: Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.

d. Towus Al-Yamany, Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani, orang pertama dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga.

Ia juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.

e. ‘Atho’ bin Abi Robah, Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki, salah seorang maula Quraisy. Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW., antara lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash.Bahkan ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Mekkah puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. 

Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya: Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendii? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi ini. Ia meninggal pada tahun 124 H, menurut pendapat yang paling kuat.

2. Madrasah Madinah
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, aliran tafsir di Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di Madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabiinsebagai murid sahabat-sahabat Nabi melalui Ubay bin Ka’ab, para tabiin banyak menafsirkan al-Qur’an yang kemudian disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi.

Madrasah ini menghasilkan pakar tafsir seperti:

a. Zaid bin Aslam, Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi’in dan termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsqah-an dan keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.


b. Abul ‘Aliyah, Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.


c. Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli, Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur’an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.

kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain;
  1. Telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah.
  2. Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy.
  3. Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
3. Madrasah Kuffah Iraq
Madrasah Kuffah atau Madrasah Ibnu Mas’ud (dipandang ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) yang memperoleh perlindungan dari Gubernur Iraq, ‘Ammar bin Yasir, serta didukung para tabiin Iraq seperti: ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al-Hamdani, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah. Secara global, aliran ini lebih banyak berwarna ra’yi (rasional). Sebagai akibat warna tersebut, maka timbul banyak masalah khilafiyah (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (dedukatif). [Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.h.60.] diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:

a. ‘Alqamah ibn Qais, Ia lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas’ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorangtsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.

b. Masruq ibn al-Ajda’ ib Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid, Ia seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.

c. Al-Aswad ibn Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman), Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas’ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqahsaleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.

d. Murrah al-Hamadzani, Ia adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.

e. Amir al-Sya’bi, Ia adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi’i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Meski banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn al-Musayyab dan Amir al-Sya’bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur’an dan mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.

f. Al-Hasan al-Bashri, Ia adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula al-Anshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H dalam usia 88 tahun.

g. Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi, Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.

Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan diantaranya;
  1. Semaikin banyak ahli ra’yi.
  2. Banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut.
  3. Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an.

Kualitas Dan Karakteristik Tafsir Periode Tabi'in

Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in tidak diambil, karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya. Sehingga mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehandaki oleh Al-Qur’an. Di samping itu keadilan (al-adalah, kualitas pribadi) tidak di nash, berbeda dengan sahabat.

Ibnu Taimiyah berkata,
“Syu’bah bin Hajjaj & lainnya berpendapat : “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah.”
Sebagian mufassir berpendapat bahwa pendapat tabi’in di bidang tafsir di akui dan diambil, karena mereka menerimanya umumnya dari sahabat dan status mereka adalah adil.

Pendapat yang seyogyanya dipegang berkenaan dengan tafsir tabi’in ini adalah tidak harus diambil, kecuali dengan dua syarat, yakni :
  1. Yang diriwayatkan dari mereka bukanlah masalah yang merupakan wilayah ijtihad.
  2. Tabi’i yang bersangkutan tidak dikenal mengambil riwayat dari ahli kitab. Bila kedua syarat ini terpenuhi, maka bisa diambil dan bila tidak maka juga tidak bisa di ambil.
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.

Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadis, namun masing-masing madrasah dari guru-guru mereka sendiri. Penafsiran pada masa ini mengambil sumber dari al-Qur’an, sunnah, Sahabat, dan tabi’in atau dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Karakter tafsir di zaman ini adalah sebagai berikut:
  1. Masuknya Israiliyat sebab banyaknya ahlul kitab dari kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam.
  2. Ditransmisikan melalui jalur riwayat.
  3. Munculnya corak mazhab tertentu dalam tafsir.
  4. Banyaknya perbedaan antar tabi’in mengenai tafsir yang diriwayatkan dari sahabat, namun perbedaan tersebut masih dalam koridor tanawwu‘ dan bukan tadlâd. Walaupun demikian, jumlah perbedaan tafsir di periode tabi’in lebih sedikit dibanding perbedaan yang terjadi akhir-akhir ini.
Faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut antara lain:
  1. Setiap mufassir mengartikan maksud sebuah ayat dengan redaksi yang berbeda akan tetapi merujuk pada satu person.
  2. Para mufassir menyebutkan sebagian contoh yang terkandung dalam kata umum untuk permisalan.
  3. Kata yang punya beberapa artian, baik karena bersinonim atau memang mempunyai dua kemungkinan artian, seperti dlamîr.
  4. Penafsiran dengan kata yang berdekatan maknanya, akan tetapi tidak bersinonim.
  5. Terdapat dua kiraat dalam satu ayat. [Angga Prilakusuma, Makalah: Telaah Kritis Aplikasi Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an, h. 12-13.]
Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadis dan tafsir menjadi kitab tersendiri. [Syaikh Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, Terj. Muzakir As, Op Cit, h. 477. , Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. II; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.]

Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya.

Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.

Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
  • Al-Qur’an
  • Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
  • Tafsir dari para Sahabat
  • Cerita-cerita dari para ahli kitab (Israiliyat)
  • Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.

Adapun penafsiran Mujahid, murid dari Ibnu Abbas akan tetapi penafsiranya kental dengan nuansa penafsiran Ibnu Mas’ud yang bercorak Rasional (ra'yi).[Al-dzahabi, al-Tafsir......, Vol I, hlm 80]

Pendapat Ulama Seputar Tafsir bil-ra'yi

Menjelang abad II Hijriah penafsiran mengenai tafsiran bi Ra’yi belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengumakakan argumentasi-argumentasi berikut ini:

a. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal, Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَّمْعَ والْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أوْلَىئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganj awabnya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 36).

b.Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanyalah Nabi.

وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذَّكْرَلِتُبَيِّنَ لِلنَّا سِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl [16]: 44).

c.Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَالَ فِيْ اْلقُرْأَنِ بِرَأْيِهِ أَوْبِمَالَايَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya:
Siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar.

d.Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran al-Qur’an.[Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),, h. 221-222.]

Sedangkan ulama yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut:

a. Di dalam al-qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-Qur’an. Misalnya dalam surah Muhammad ayat 24.

b. Seandainya tafsir bi ar-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ummatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.

c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan rayi’nya. Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.

d. Rasulullah pernah berdoa untuk Ibn Abbas. Doa itu brbunyi:

اَللَّهُمَّ فَقِّهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلَمْهُ التَّأْوِيْلِ
Artinya:
Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn Abbas dan ajarilah ia takwil.

Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan doa di atas untuk Ibn Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka takwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu di luar penukilan, yaitu itihad dan pemikiran.[Ibid, h. 222-223]

Pada masa tabi’in tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif. [Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj, Aunur Rafiq El-Mazni (Cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 428.]

Thabaqat ketiga kaum Muslimin melanjutkan pengembangan tafsir dari kaum Tabi’in. Mereka mengumpulkan segala penafsiran para pendahulunya, kemudian dituangkan dalam kitab-kitab tafsir karya mereka, seperti yang dilakukan oleh Sufyan Ibn ‘Uyainah dan Waqi’ Ibn al-Jarrah.[Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), hal. 384.] Mereka menjadi pembuka jalan bagi Ibn Jarir al-Thabary penulis kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang metode penafsirannya diikuti oleh sebagian besar ahli tafsir pada masa-masa berikutnya.[Ibid.h. 384]

Gabungan ketiga sumber penafsiran itu, yaitu penafsiran periode pertama, penafsiran Nabi Muhammad SAW, penafsiran periode kedua, penafsiran para Sahabat, dan penafsiran periode ketiga, penafsiran para Tabi’in, dinamaiTafsir bil al-Ma’tsur.[Syaikh Manna Khalil al-Qattan, Op Cit, h. 477.]

Metode Penafsiran Al-Qur’an Pada Masa Abad II Hijrah.

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang dikenal dengan tafsir bil al-Ma’tsur. Dalam Tafsir bi Matsur pada Masa Abad II Hijriah ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bil al-Ma’tsur yaitu:

a. Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-Qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata IndoINTpada surah al-Imran ayat 133:[Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Press 1992, h. 43.]

وَسَرِعُوْاِلَي مَغْفِرَةً مِنْ رَّبِّكُمْ وَجَنِّةٍ عَرْضُهَاالسِّمَوَاتِ وَالْاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
Artinya:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.[Achmad Fahruddin, Dkk, Al-Qur’an Digital/Versi 2.0 (2004), h. Al-imran 133.]

Penafsiran kata IndoINT dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahn orang lain.[Al-Aridh, Op Cit, h. 43.]

Demikian juga dalam penafsiran kata al-khaititil abyadhi dalam surah al-Baqarah ayat 187:

وَكُل وَاشْرَبُوْاحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الَابْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الَاسْوَدِمِنَ الْفَجْرِ
Artinya:
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.[Achmad Fahruddin, Dkk, Op Cit, h. al-Baqarah 187.]

Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al-Kahitil abyadhi”[Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi’ Ta’wil al-Qur’an, tahqiq: Ahmad Syakir jilid III (Cet. I; Muassah al-Risalah, 2000), h. 502.]

b. Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata ‘Az-Zulm’ pada surah al-An’am ayat 6 dengan penafsiran syirik, dan pengertian ungkapan al-Quwwah dengan ar-Ramy (panah) pada firman Allah:[Al-Aridh, Op Cit, h. 43.]

وَاَعِدُّوْالَهُمْ مَّااسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِّبَطِ الْخَيْلِ تُرْ هِبُوْنَ بِهِ
Artinya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu).[Achmad Fahruddin, Dkk, Op Cit, h. al-Anfal 60.]

c. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang benyak mengetahui al-Qur’an. Misalnya, penafsiran ibnu Abbas (w.68/687) terhadap kandungan surah An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.[Al-Aridh, Op Cit, h. 43.]

d. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap yang bertemu langsung dengan sahabat.[Ibid, h. 43.] Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujahid terhadap al-Baqarah 65: wa-laqad _alimtumu llazina _tadaw minkum fis-sabti fa-qulna lahum kunu qiradatan khasi'in (dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabat, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah kamu kera yang hina").

Frasa "jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan "kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah (62) ayat 5: matsal alla_ina hummilu t-tawrata tsumma lam yahmiluha kamatsalil-himari yahmilu asfara (perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.[Tahir Muhamad al-Surati, Islam Abad ( t.th), hal. 77-78.]

Tidak di peroleh alasan yang memadai mengenai tafsiran tabi’in yang dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi al-Ma’tsur. Pada hal dalam penafsiran Al-Qur’an, mereka tidak hanya berdasarkan kepada riwayat yang diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide-idenya. Dengan kata lain, terkadang pun mereka melakukan ijtihad dan memberi interpretasi terhadap Al-Qur’an. Disamping itu, mereka berbeda dengan sahabat, tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Qur’an turun. Oleh karena itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an bi al-Ma’tsur masih diperdebatkan para ulama. Diantara ulama yang menolak otoritas mereka , Abu hanifah berujar, “Apa yang datang dari Rasulullah harus diterima; apa yang datang dari tabi’in, (kita perlu menyikapinya), mereka adalah laki-laki dan kami laki-laki. Namun, mayorita ulama seperti Ad-dahhak bin al-Muzahim (w. 118/736), Abu Al-Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan Absri (w. 110/728), dan ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mereka mendengar langsung dari sahabat.[Ibid, h. 214-215] Di dalam tafsir bil matsur terjadi beberapa perbedaan.

Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:

a. Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (Q.s., al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan.

b.berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja. 

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.

Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan. Contoh lainnya, firman-Nya, “Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)” (Q.s.,an-Naba`:34) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.” Mujahid berkata, “Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah bening.” 

Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.

Kritik Terhadat Riwayat dari Tabi’in

Dari uraian diatas jelaslah bahwa riwayat dari tabi’in memuat sekian riwayat dari ahli Kitab yang telah masuk Islam di samping pendapat dan ijtihad tabi’in sendiri. Riwayat seperti ini nilainya lebih rendah dan mendorng banyak ulama untuk menghindari riwayat dari mereka. Sudah dijelaskan perbedaan pendapat berkenaan dengan tafsir tabi’in dan pendapat mereka.

a. Abdullah ibn Salam
Ia adalah Abu Yusuf Abdullah ibn Salam ibn al-Harits al-Isra’iliy al-Anshari sekutu Bani Auf al-Khazraji, merupakan generasi Yusuf ibn Ya’qub a.s. Ia masuk Islam pada tahun hijrah pertama, ketika Rasulullah SAW. Imam Bukhari di dalam shahihnya mentakhrij sejarah masuk Islamnya sebagai berikut:

Ketika Nabi SAW datang, Abdullah ibn Salam mendatangi beliau, lalu berkata, aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah dan membawa kebenaran. Kaum Yahudi tahu bahwa aku adalah Tuan mereka dan Anak Tuan mereka, yang paling alim di antara mereka. Maka undanglah mereka. Tanyakan kepada mereka tentang diriku kepada mereka sebelum mereka tahu bahwa aku telah masuk Islam.

Abdullah ibn Salam termasuk orang-orang yang membela Utsman ibn Affan saat Utsman terbunuh oleh orang-orang membuat makar. Ia berkhutbah dihadapan mereka menyampaikan ancaman akan akibat buruk yang akan mereka peroleh. Namun mereka tidak mau mendengar nasehatnya. Tak lama kemudian mereka membunuh Utsman r.a. Ibn Salam meriwayatkan hadits dari Nabi SAW langsung. Yang meriwayatkan darinya adalah kedua putranya, Yusuf dan Muhammad, Abu Hurairah, Auf ibn Malik, Atha ibn Yassar dan lain-lain.

Posisi ilmiahnya
Abdullah ibn Salam adalah Yahudi yang paling alim dan putra dari Yahudi yang paling alim, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih. Kepadanya bergabung ilmu Taurat dan ilmu Al-Qur’an setelah ia masuk. Banyak mufassir yang telah meriwayatkan darinya mengenai berita-berita dan kisah (Isra’iliyyat). Ibn Jarir juga banyak menisbatkan kepadanya di dalam Tarikhnya berita-berita yang bersifat sejarah dan lainnya. 
 
b. Ka’b al-Ahbar

Ia adalah Ka’b ibn Mani’ al-Himyari, yang dikenal dengan Ka’b al-Ahbar. Asalnya adalah Yahudi Yaman. Ada yang mengatakan bahwa ia menjumpai masa Jahiliyah dan masuk Islam pada masa Umar ibn Khaththab r.a. Ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk Islam pada masa Abu Bakar. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ia masuk Islam pada masa Nabi SAW. Namun hijrahnya agak belakangan. Pendapat yang mahsyr adalah bahwa ia masuk Islam pada masa Umar, sebagaimana dikatakn ibn Hajar.

Ibn Sa’d menuturkan di dalam thabaqah pertama dari kaum tabi’in Syam. Ia meriwayatkan dari Rasulullah SAW secara mursal. Ia juga meriwayatkan dari Umar, Shuhaib dan Aisyah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Hurairah, Ibn Abbas, Mu’awiyah, Atha’ ibn Abi Rabah dan lain-lain. Ia wafat pada tahun 32 H, menurut pendapat yang paling kuat.

Posisi ilmiahnya
Ka’b al-Ahbar dikenal memiliki ilmu yang sangat luas, sampai disebut Ka’b al-Habr (yakni orang yang sangat alim) dan Ka’b al-Ahbar. Telah diriwayatkan darinya dibidang tafsir dan yang lain riwayat yang sangat banyak, yang menunjukkan keluasan wawasannya dan telaahnya terhadap dua kebudayaan, Islam dan Yahudi.

Di dalam al-Thabaqat al-Kubra bahwa setelah masuk Islam, ia masih tetap merujuk kitab Taurat, dan dari segi kualitas pribadi. Ia adalah seorang yang tsiqah dan adil. Ibn Abbas, Abu Hurairah dan yang lain meriwayatkan darinya. Imam Muslim juga mentakhrijnya di dalam kitab Shahihnya.

c. Wahb ibn Munabbih
Ia adalah Abu Abdillah Wahb ibn Munabbih al-Yamani al-Shan’ani, termasuk tabi’in pilihan dan ilmuwan mereka. Ia termasuk keturunan Persi. Orang tuanya berasal dari Khurasan. Kisra mengusirnya ke Yaman. Lalu ia masuk Islam pada masa Nabi SAW. Ia lahir tahun 34 H dan meninggal tahun 110 H. Ia termasuk ahli ibadah. Sampai selama 20 tahun ia salat Fajar dengan wudlu saat Isya.

Ia meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudriy, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Amr, Jabir dan Anas. Imam Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, al-Tirmidzi dan Abu Daud mentakhrijnya.

Posisi ilmiahnya
Wahb ibn Munabbih sangat luas ilmunya, banyak menelaah kitab-kitab terdahulu dan menguasai berita-berita dan kisah-kisah tentang awal penciptaan. Ia juga menulis tentang perang-perang Nabi SAW dan berita-berita para raja.

Ia tertuduh sedikit condong kepada paham qadar, kemudian mencabutnya. Demikian riwayat al-Imam Ahmad. Hammad ibn Salamah meriwayatkan dari Abu Sinan, katanya ia mendengar Wahb ibn Munabbih berkata, aku pernah berpaham qadar. Sampai aku telah membaca lebih dari 70 kitab yang diturunkan kepada para Nabi. Semuanya menyebutkan: “Siapa yang menjadikan sedikit masyi’ahnya kepada dirinya sendiri, maka ia telah kafir.” Lalu aku mencabut pahamku itu.

Ini menunjukkan bahwa ia sangat menguasai banyak kitab samawi terdahulu, seperti ditunjukkan bahwa ia tidak lagi memegangi ideologinya yang sesat, yakni paham qadar. Melainkan ia beralih kepada paham yang benar, yakni akidah Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Karena itu tidak benar mengkritiknya dari sudut ini, setelah nyata bahwa ia telah mencabut paham sesatnya itu.

Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Press 1992.
Al-Dzahabi,Muhammad Husein, al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Juz I, Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Bandung,: Mizan: 1992
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Alqur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, M. Ag, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Zainul hasan Rifai, Al-Qur’an; kisah Israiliyat dalam penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-Studi Islam, No. 13; Bandung: Yayasan Muthahhari, 1994




Sumber http://www.zulfanafdhilla.com/

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Tafsir Al-Quran Pada Periode Tabi'in (Abad II Hijriah)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel